Oleh: Dr. Mochtar Marhum *)
BELAKANGAN ini dunia akademik dan masyarakat pada umumnya sempat dihebohkan dengan polemik pangkat akademik Profesor (Guru Besar) dan gelar akademik (Strata Pendidikan) di tengah-tengah mulai mencuatnya juga sorotan terkait gelar non-akademik termasuk gelar Habib yang kini jadi perdebatan hangat. Namun, tulisan ini hanya fokus pada gelar dalam ranah akademik.
DE FACTO VS DE JURE
Rocky Gerung adalah contoh Professor De Facto karena yang bersangkutan walaupun secara de jure tidak memiliki SK dan pangkat akademik Guru Besar (Professor) tapi justru sering dipanggil Profesor karena mungkin dianggap cakap, punya pengetahuan luas dan piawai berdebat tentang berbagai masalah dan aspek kehidupan.
Rocky merupakan salah seorang pendiri Setara Institute dan fellow pada Perhimpunan
Pendidikan Demokrasi (P2D). Dia termasuk intelektual yang cerdas secara akademis,
politis dan filosofis. Lawan debatnya di ruang publik bukanlah figur intelktual kaleng
kaleng. Dan hampir setiap kesempatan debat, Rocky dianggap unggul dan bisa menguasai
panggung.
Rocky bahkan juga mampu berdebat dengan pihak penegak hukum dan pernah diminta bantuan advokasi hukum.
Menurut pengakuannya dia juga sudah pernah 21 kali dilaporkan poolisi akibat debat dan
narasi yang disampaikan dalam diskusi menyinggung sejumlah pejabat dan simpatisannya.
Namun mungkin karena kecerdasan dan kepiawaiannya mengelak sehingga semua laporan dan tuduhan itu mental dan mungkin dianggap tidak cukup bukti yang menguatkan.
Rocky sebagai aktivis sempat kuliah dan pindah pindah beberapa fakultas tapi akhirnya
bisa menyelesaikan studinya dan menyandang gelar S1 Sarjana Sastra SS (Drs) dengan
Konsentrasi Kajian Ilmu Filsafat dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Dulu sebelum keluar UUD Guru dan Dosen tahun 1995, di beberpa perguruan tinggi rata-rata dosen masih bergelar Sarjana (S1) bahkan ada juga yang Sarjana muda.
Rocky sempat jadi dosen di UI selama 15 tahun. Dia mengabdi di UI sebagai dosen senior
dan sempat membimbing skripsi sejumlah mahasiswa ternama yang kini banyak yang jadi
public figur ternama termasuk salah satunya adalah Dian Sastro Wardoyo.
Sejak berlakunya UU Guru dan Dosen No.14 Tahun 2005 yang menetapkan dosen Profesional harus minimal berlatar belakang pendidikan Strata Dua S2 (Magister) dan diperoleh dari perguruan tinggi yang terakreditasi.
UU tersebutlah yang membatasi dosen-dosen yang potensial tapi tidak memiliki latar
belakang pendidikan S2 (Magister) terpkasa harus berhenti dari profesi dosen. Dari
sejumlah informasi teman teman dekatnya waktu diskusi di Twitter (X) ternyata Rocky dulu
pernah melanjutkan pendidikan pascasarjana di luar negeri tapi belum berhasil sehingga
sampai saat ini dia masih berlatar belakang pendidikan S1 Sarjana Sastra (SS).
Secara akademis dan administrasi, aktivis demokrasi yang juga pengajar filsafat, Rocky
Gerung memang bukan profesor atau guru besar tapi para siswa, kolega sesama dosen,
maupuan para dosen senior di lingkungan Universitas Indonesia dari jenjang Strata Satu
hingga doktoral ada yang menyapanya, “Profesor”.
Banyak teman teman dosen yang berkualitas dan menjadi akademisi unggul (Outstanding
Academic) sering dipanggil Profesor (Prof) walaupun mereka secara De jure belum diakui
sebagai Profesor atau belum memiliki pangkat fungsional Guru Besar (GB). Di Amerika dan Eropa khususnya di Perancis, dosen yang sudah bergelar Doktor sering disapa atau dipanggil dengan sebutan terhormat “Profesor”.
Banyak orang awam mungkin mengira Profesor itu gelar akademik tertinggi di atasnya gelar Strata Tiga (S3), Dr. (Doktor) atau PhD (Philosophy Doctor/Doctor of Philosophy).
Padahal Profesor itu pangkat fungsional (akademik) dosen dan hanya bisa dipakai ketika
dosen tersebut masih aktif mengajar dan meneliti atau melakukan kegiatan TRI Darma
Perguruan Tinggi.
PERPEKTIF GELAR, PUBLIC FIGURE
Uniknya mungkin hanya di Indonesia ada pemberian gelar Profesor Kehormatan bagi figur
Non-Akademisi seperti seperti pengusaha dan Penguasa atau Politisi. Kalau gelar Doktor
Kehormatan atau Doktor Honoris Causa (Dr. HC) sudah tidak asing lagi dan di luar negeri
juga ada.
Terkait dengan gelar Profesor Kehormatan, Mahkamah Konstitusi (MK) menyurati Menteri
Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Menristekdikti) Nadiem Makarim untuk taat
konstitusi dengan menjalankan Putusan MK 20/PUU-XIX/2021. Salah satunya soal penulisan nama profesor kehormatan dengan benar, yaitu Prof (HC Kampus) Nama Orang. Dan akhirnya sejumlah public figur juga telah diberikan gelar Profesor kehormatan.
Polemik tentang gelar Profesor semakin sexy dan viral berawal dari adanya indikasi dua
orang public figur yang belum lama disinyalir dikukuhkan Profesor.
Yang lebih disoroti masyarakat ketika ada yang memperoleh gelar strata akademik dianggap anomaly karena tanggal dan tahun keluarnya gelar S2 mendahului tanggal gelar S1. Juga yang dipertanyakan durasi priode pengabdian sebagai dosen kedua politisi kawakan tersebut dirasakan ganjil.
Dari polemik gelar pangkat fungsional Guru Besar ini akhirnya merambah ke perguruan
tinggi dan pihak kementrian meresponnya.
ACADEMIC HONESTY DAN PRESTISE
Ada sekitar 11 orang Profesor yang baru dikukuhkan di salah satu perguruan tinggi negeri
di Kalimantan akhirnya diperiksa oleh tim dari kementrian karena diduga terindikasi
melanggar SOP terkait salah satu persyaratan penting pengajuan Guru Besar terutama
berkaitan dengan syarat utama publikasi jurnal bereputasi. Dan mereka disinyalir telah
diberi sangsi.
Dibandingkan perguruan tinggi lain, kalau di luar negeri kebanyakan perguruan tinggi
maju memiliki persyarata yang berbeda terkait dengan peraturan kenaikan pangkat
khususnya publikasi.
Masih banyak juga yang belum memberi persyaratan ketat dan berat terkait misalnya harus publikasi di jurnal tertentu yang terindeks atau bereputasi tapi mereka justru hanya
lebih mengandalkan dan menonjolkan aspek trustworthy dan knowledgable (kepercayaan dan kepiawaian dalam penguasaan bidang ilmu yang ditekuni).
Namun pada umumnya dalam akademik internasional terkenal adigium yang sering viral di
kalangan akademisi terkait dengan publikasi yaitu “Publish or Perished” di mana dosen
yang bergelut dengan ilmu pengetahuan wajib melakukan penelitian dan publikasi karena
jika tidak karir khususnya di bidang pengembangan ilmu pengetahuannya dianggap stagnant atau mati bagaikan air yang tergenang di kubangan tidak mengalir sehingga menjadi keruh. Hal tersebut di atas mungkin bisa menyinggung mereka yang kurang produktif melakukann penelitian dan publikasi.
Sebaliknya mereka yang selalu meneliti dan mempublikasi hasil penelitian mereka
dianalogikan bagaikan air sungai jernih yang terus mengalir dan memberikan dampak luas
bagi kehidupan manusia di sekitarnya.
Ada kisah yang sempat viral sekitar era tahun 1990an. Kasus yang heboh dan memalukan
ketika itu pihak Dirjen Pendidikan Tinggi dan Timnya menemukan berkas pungusulan Guru
Besar sejumalh perguruan tinggi negeri disinyalir menggunakan jurnal abal-abal yaitu
tertulis jurnal internasional dan ketika dilacak secara random alamat penerbit di luar
negeri seperti di Kuala Lumpur Malaysia ternyata alamatnya hanya tokoh dan dianggap
sebagai penerbit bodong.
Lebih tragis dan sangat memalukan juga ketika ditemukan ada jurnal yang
sampulnya telah discanned dan dilakukan editting dan scanning serta melakukan
penggantian nama penulis dan penerbit seolah olah mereka adalah penulis yang sah dan
seolah olah jurnalnya bereputasi. Sayang ketika itu belum berlaku jurnal online seperti
sekarang ini yang muda dilacak.
Pada saat itu dokumen jurnal dan filenya masih versi printed atau hardcopy.
Atas temuan di atas perguruan tinggi yang terlibat langsung mendapat sangsi tegas dari
pihak kementrian bahkan ada sejumlah dosen pengusul Guru Besar yang diblack list dan
perguruan tingginya mendapat sangsi penghentian sementara pengusulan Guru Besar.
Profesor bukanlah gelar Akademik tapi Profesor atau Guru Besar adalah pangkat fungsional
tertinggi seorang akademisi (Dosen) di atas pangkat Lektor Kepala, Lektor dan Asisten
Ahli.
Untuk menduduki posisi jabatan fungsional tertinggi itu seorang akademisi harus memenuhi persyaratan utama dan persyaratan tambahan antara lain seperti calon Profesor harus tercatat menjadi dosen pada perguruan tinggi terkareditasi, telah mengabdi menjadi dosen selama kurang lebih 10 tahun dan memiliki NIDN, punya latar belakang pendidikan formal S3 (Doktor), telah mengumpulkan angka kredit minimal 850, pernah memenangkan hibah penelitian dan punya publikasi sebagai penulis utama pada jurnal internasional
berupatasi terindeks scopus atau pada data base WOS (Web of Science) dan atau punya
publikasi jurnal Nasional terindeks Sinta 1 dan Sinta 2, juga pernah menjadi penguji
(examiner) mahasiswa calon Doktor.
Kalau tidak keliru awal tahun 1990an sempat ramai isu Gelar Akademik yang berasal dari
peguruan tinggi di luar negeri tapi konon tempat kuliahnya di hotel-hotel di sejumlah
kota besar di Indonesia.
Gelar yang sangat familiar atau sangat dikenal seperti gelar Master of Bussines
Administration (M.BA.), Master of Management (MM) dan Doctor of Philosophy/Philosophy
Doctor (PhD). Konon gelar akademik cepat saji ini diperoleh relatif singkat karena hanya
membayar registrasi dan tution fee kemudian ikut kuliah beberapa kali lalu tiba tiba
diadakan prosesi dan serimonial wisuda di hotel dan ada yang dihadiri sejumlah pengelola
dan dosen.
Ada juga sempat ramai gelar Doktor Honoris Causa yang pengelolanya rajin menghubungi dan menawarkan gelar Doktor Honoris Causa kepada sejumlah pejabat, penguasa dan pengusaha di Indonesia.
Dan jualan gelar kehormatan Doktor Honoris Causa sempat laris manis coz banyak orang
awam yang mungkin hanya ingin gagah gagahan menunjukkan gelar akademik walaupun hanya gelar akademik kehormatan (Honoris Causa).
Sebenarnya gelar kehormatan itu hanyalah semacam piagam penghargaan yang bisa dipajang tapi mungkin tidak tepat untuk dipakai dalam urusan resmi atau surat menyurat yang tidak bisa disamakan dengan gelar akademik yang diperoleh melalui perkuliahan formal.
Tapi sejak kasus maraknya isu jual beli ijazah luar negeri cepat saji dan ijazah honoris
causa dari luar negeri, Dirjen Pendidikan Tinggi melalui Direktur Akademik membuat
kebijakan yang lebih ketat yaitu semua Ijazah Luar negeri harus diakreditasi atau
disetarakan dan jika memenuhi syarat akan diberikan SK penyetraan Ijazah Luar negeri.
Persyaratan untuk untuk penyetraan Ijazah Luar Negeri di Kementrian sangat ketat, antara
lain kalau penyandang gelar akademi dari background PNS/ASN harus menujukkan persyaratan antara lain seperti Surat Tugas Belajar yang dikeluarkan Sekretariat Kabinet RI dan Surat Tugas Pimpinan Perguruan Tinggi. Kalau waktu kuliah dibiayai oleh sponsor
beasiswa, harus menunjukkan surat kontrak beasiswa kerjasama Sponsor Beasiswa dan
Kementrian atau Perguruan Tinggi.
Selain itu harus memperlihatkan Ijazah asli dan melampirkan fotocooy Ijazah Luar Negeri
dan Dokumen terkait serta serta menyerahkan satu bundel Fotocopy Disertasi atau Thesis
untuk diperikasa dan diteli kebasahannya.
Kemudian juga harus mengisi formulir penyetraan Ijazah Luar Negeri dll. Sehingga mereka
yang alumni luar negeri yang sah dan telah disetarakan Ijazah Luar Negerinya ditandai
dengan SK penyetaraan ijazah luar negeri tidak diragukan lagi.
Di tengah tengah masih hangatnya polemik tentang pangkat akademik Profesor, Rektor UII
mengeluarkan pernyataan dan maklumat yang mengejutkan dan langsung disambut dukungan luas kalangan akademik dan masyarakat luas pada umumnya.
Pernyataan dan maklumat itu dilansir di media mainstream online detik.com 19/07/2024
sebagai berikut “Dalam rangka menguatkan atmosfer kolegial dalam tata kelola perguruan
tinggi, bersama ini disampaikan bahwa seluruh korespondensi surat, dokumen, dan produk
hukum selain ijazah, transkrip nilai, dan yang setara itu dengan penanda tangan Rektor
yang selama ini tertulis gelar lengkap ‘Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D.’ agar
dituliskan tanpa gelar menjadi ‘Fathul Wahid’.
Di kebanyakan perguruan tinggi di luar negeri terutama di negara negara maju misalnya
Inggris dan negara-negara Ex-jajahan inggris (Common Wealth Countries) atau negara
negara keturunan bangsa Inggris termasuk Amerika, Australia, Canada, New Zealand,
jarang atau bahkan tidak pernah menggunakan gelar akademik dalam hal tertentu termasuk menandatangani sejumlah surat dan dokumen penting tanpa menggunakan gelar dan pangkat akademik.
Bahkan ijazah perguruan tinggi yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi di negara negara
tersebut di atas tidak dituliskan gelar akademik atau gelar pangkat akademik (Assiten
Professor), Associate Professor dan Professor) tapi hanya nama saja sehingga bagi orang
Indonesia yang belum faham mungkin bisa gagal faham dan mungkin dikiranya pimpinan
perguruan tinggi yang meandatangani Ijazah atau dokumen terkait, bukan Profesor atau
Doktor.
Mungkin perlu diketahui rata-rata masyarakat akademik dan intelektual di luar negeri
khususnya di negara-negara maju sebenarnya memiliki gelar akademik yang banyak maksunya anda mungkin akan heran kalau mendengar kebanyakan mereka punya lebih dari satu gelar akademik pada jenjang yang sama misalnya ada yang memiliki gelar S1 (Strata Satu) sampai tiga atau empat, S2 (Strata Dua) sampai dua atau tiga dan S3 (Strata Tiga) sampai dua.
Rata-rata gelar akademik, mereka peroleh melalui kuliah bukan melalui kursus atau
sertifikasi pendidikan profesional yang waktunya relatif sangat singkat untuk
memperolehnya.
Kenapa di negara negara maju rata rata mampu memiliki gelar akademik banyak tapi mereka tidak gunakan atau jarang gunakan dan tonjolkan gelar akademik mereka. Alasannya bisa jadi karena pertama mereka betul betul berorietasi kuliah dengan tujuan bukan untuk mengejar gelar akademik tapi tujuan utama untuk mengejar ilmu pengetahuan atau betul betul ingin mendalami bidang ilmu yang mereka minati.
Selain itu rata rata di negara maju perguruan tinggi memiliki kebijakan yang fleksible,
fair dan memihak pada kebutuhan mahasiswa. Makanya di sana ada kebijakan full-time
students, mirip di Indonesia dan juga ada kebijakan part-time students yang tidak
dimiliki perguruan tinggi di Indonesia.
Mahasiswa yang sudah kerja full-time di kantor atau perusahaan bisa ikut kuliah part-
time tapi mahasiswa yang kerja full-time di kantor atau perusahaan direkomendasikan
untuk tidak kuliah full-time karena secara aturan dan logika bagi mereka dianggap tidak
masuk akal kerja full-time sekaligus kuliah fulltime secara bersamaan karena dianggap
luar biasa.
Namun, mungkin perguruan tinggi di Indonesia akan kesulitan mendapatkan mahasiswa atau mungkin mahasiswa enggan mengikuti kebijakan yang sangat idealis ini.
Melalui kebijakan part-time sehingga rata-rata banyak mahasiswa yang busa kuliah di
lebih di lebih dari satu fakultas atau di lebih dari satu Program Studi (Prodi) dan
ketika mereka selesai, banyak yang memiliki gelar akademik lebih dari satu dan dalam
bidang ilmu yang berbeda.
Dengan kebijakan part-time mahasiswa hanya bisa mengambil sedikit mata kuliah dan tentu juga sedikit SKS misalnya separuh atau bahkan seperempat dari jumlah mata kuliah pada program kuliah full-tume.
PERUBAHAN MINDSET DAN PARADIGMA
Dunia akademik itu harus selalu penuh rasa keingintahuan (Couristiy) dan memiliki minat
yang besar menguasai ilmu pengetahuan.
Dosen atau akademisi bisa jadi sepesialis ketika dia mengajar dan meneliti tapi juga
bisa sekaligus menjadi pemikir yang selalu memikirkan masalah yang muncul di sekitarnya,
memikirkan ilmu pengetahuan yang lebih luas di luar bidang background disiplin ilmunya
yang diperoleh melalui pendidikan formal.
Sudah saatnya masyarakat merubah mindsetnya dan menganggap bahwa orang bersekolah atau kuliah harus punya orientasi yang sebenarnya yaitu bukanlah sekedar mengejar gelar yang setinggi tingginya tapi paradigmajuga harus berubah sebaiknya yang lebih sering
ditonjolkan kemampuan dan kinerja akademik ketimbang pangkat dan gelar akademik seperti yang sering terlihat di laur negeri wabil khusus di negara-negara maju.
Jadi jelas orientasi kuliah atau bersekolah itu semata mata bukan hanya mengejar seabrek
gelar tapi punya tujuan akademik yang mulia yaitu wajib menimbah ilmu pengetahuan
sebanyak-banyaknya yang tentu agar bisa bermamfaat bagi kemaslahatan orang banyak.
Dan juga yang tidak kalah pentingnya harus juga lebih memperhatikan rana sikap (afektif)
dan psikomotorik.
Kecerdasan reigius dan spiritulitas serta aspek modal sosial dan integritas seorang
intelektual itu juga tidak kalah pentingnya. Akhirnya patut disadari bahwa dunia
akademik perguruan tinggi saat ini lebih menonjolkan jargon konvensional yaitu “karya
tulis bukan karya omon-omon alias Nggedabrus”.
*) Penulis adalah dosen di FKIP Universitas Tadulako, juga kolumnis dan pengamat
pendidikan.