Jatuh Cinta Seperti di Fillm-Film
PALU-Hadiah paling manis untuk seluruh penikmat film di Indonesia, ternyata datang pada film yang 85 persen didominasi hitam putih, di penghujung November 2023.
Dari dan untuk mereka yang mencintai film, adalah ungkapan yang tepat untuk film ini. Jatuh Cinta Seperti di Film-Film (Jesedef), berkisah tentang Bagus (Ringgo Agus Rahman) seorang penulis skenario film yang bertemu kembali dengan cinta lamanya di masa SMA, Hana (Nirina Zubir) yang baru saja kehilangan suaminya dan kembali ke Jakarta.
Pertemuan klise di sebuah super market berujung kepada obrolan yang memunculkan niat Bagus untuk membuat skenario film, sebagai pernyataan cintanya kepada Hana.
Bagus, yang kerap mengerjakan karya-karya adaptasi, menjadikan kesempatan menulis skenario kisah ia dan Hana penuh dengan rasa idealis. Secara kontras, berbagai treatment yang coba ia presentasikan; format hitam putih, penempatan judul film, sampai pemilihan karakter; mendapat pertentangan dari Yoram (Alex Abbad) sebagai produser yang masih percaya terhadap formula dan gimmick marketing yang kerap digunakan pada kebanyakan film Indonesia.
Layaknya sebuah skenario, delapan sequence di dalam film ini diperlihatkan secara terang-terangan yang tentu menjadi pengalaman baru bagi banyak penonton, yang awam terhadap kaidah penulisan skenario film.
Singkat cerita, pertemuan Bagus dan Hana menjadi semakin intens. Bagus semakin dalam mengetahui kehidupan Hana saat ini, bagaimana usahanya pelan-pelan berjalan dari duka, bagaimana wanita ini sangat menyukai bunga bahkan bunga yang diberikan orang-orang sebagai simbol berduka cita untuk kematian suaminya. Ironisnya, Bagus juga harus menerima bahwa Hana tak lagi percaya dengan jatuh cinta.
Seperti tidak bisa membedakan film dan kehidupan nyata, walau kehilangan yang Hana rasakan sangat mendalam, Bagus nyaris melihat segala sesuatu dari perspektif seorang penulis skenario, termasuk duka.
Di sebagian besar film, kita diperlihatkan bagaimana karakter Bagus cukup egois melihat Hana menjalani kehidupan setelah kepergian Deni (Donne Maula) yang menurutnya tidak harus menutup diri dan diam di tempat. Seolah, cinta Bagus kepada Hana tidak lebih besar dari skenario yang ia tulis berdasarkan romansa yang ada di kepalanya.
Duka gelap yang menjadi alasan Hana bertemu kembali dengan Bagus, adalah sisi paling bercahaya di film ini. Kita melihat bagaimana Hana menjalani hari demi hari memeluk dukanya dengan begitu wajar dan sangat manusia. Melalui sikap dan perilaku Hana, Nirina Zubir dengan sempurna membaurkan fiksi dan kenyataan, lalu menjelma menjadi kita semua yang tak pernah siap dalam menghadapi kehilangan.
“Yang berat dari berduka itu kan, hidup harus berjalan terus. Padahal kitanya lagi gak mau jalan” kata Hana.
Kalimat tersebut menjadi antitesis dari kebanyakan fiksi, di mana tokohnya menyikapi duka, seringkali tidak realistis dan berujung menjadi motif melakukan sesuatu.
Selanjutnya, dialog yang menjadi tulang punggung dari film ini dibuat Yandy Laurens selaku sutradara terasa cukup dan tidak membosankan.
Mulai dari perbincangan Yoram dan Bagus, membahas film yang akan mereka garap, sekaligus se-sekali menyentil praktik di industri film Indonesia yang itu-itu saja, sampai obrolan Bagus dan Hana, yang menurut Hana, cinta di usia mereka, tak lagi seperti romansa di kebanyakan film-film coming of age yang dipenuhi drama dan kupu-kupu. Yang harusnya, solusi dari semua hubungan dewasa adalah ‘ngobrol’.
Selain, karna strukturnya yang sangat meta, pengalaman menonton Jesedef terasa lebih lengkap dan menyenangkan, karna komedi yang datang dari seluruh cast, bahkan adegan ‘bersin’ oleh pemain ekstra, begitu pas dan effortless, menambah warna pada film ini. Thank you! Cheline, Dion.
Scoring pada jesedef juga sangat menawan, mempertebal emosi dan rasa pada setiap adegan, secara tidak berlebihan. Sama seperti kebanyakan kita yang kerap mengingat memori apapun itu ketika mendengar sebuah lagu, soundtrack yang diisi oleh Yura Yunita-Sudut Memori, Donne Maula-Bercinta Lewat Kata, Giovannia Rahmadeva ft. Christabel Annora-Come and Go, dan Reality Club-Anything You Want. Berhasil mengingatkan kita betapa spesialnya pengalaman ketika menonton film ini.
Melalui, Jesedef, Yandy laurens berhasil menggenggam perhatian penonton bahkan setelah kita keluar dari studio bioskop. Hana adalah epitome manusia dalam menghadapi duka. Sebagai karakter film, Hana justru menyikapi kehilangan tak seperti di film-film. Dan entah diniatkan atau tidak, skenario yang berusaha ditulis oleh Bagus, rupanya menjadi surat cinta juga untuk seluruh penonton film Indonesia.(riz)
*) Peresensi film Muhamad Ariz. Wartawan muda KABAR68.