Soroti WTP BPK, Massa Antikorupsi Gelar Aksi Jilid Dua

1
AUDIENS: Perwakilan Koalisi Rakyat Anti Korupsi melakukan audiens dengan Kasubang hukum BPK Sulteng. (FOTO- NASRULLAH)

PALU – Koalisi Masyarakat Anti Korupsi Sulawesi Tengah, kembali menggelar unjuk rasa di depan kantor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Sulawesi Tengah, Kamis (10/7/2025). Aksi jilid dua dari rangkaian protes atas dugaan kejanggalan pemberian opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) oleh BPK terhadap sejumlah kabupaten di Sulteng yang dinilai tidak layak menerima predikat tersebut.

Usai berunjuk rasa, perwakilan koalisi melakukan audiensi dengan Kepala Sub Bagian Hukum BPK Sulteng Wawan, untuk menindaklanjuti tuntutan yang telah disampaikan sebelumnya.

Dialog yang berlangsung tegang dan kritis tersebut, koalisi mempertanyakan kredibilitas BPK dalam menilai laporan keuangan daerah, khususnya Kabupaten Poso yang mendapat opini WTP meski proyek pembangunan rumah sakit daerah mangkrak dan kini menjadi objek gugatan hukum.

“Kok Poso bisa WTP? Padahal rumah sakit belum selesai, proyek Chromebook bermasalah, dan sedang digugat secara hukum. Harusnya WDP, bukan WTP!” tegas Aceng Lahay saat audiensi.

“Apakah ini dikejar demi insentif Rp50 miliar? Ini lucu. Opini itu seharusnya diberikan berdasarkan fakta, bukan administrasi belaka,” tambahnya.

Koalisi juga menyuarakan keprihatinan atas lambannya proses pengembalian temuan kerugian negara oleh Pemda, serta adanya proyek-proyek mangkrak yang tidak tercermin dalam laporan audit BPK.

“Kami temukan tunggakan pengembalian temuan sejak 2017–2018. Padahal seharusnya 60 hari setelah temuan, sudah harus dikembalikan. Tapi dibiarkan begitu saja dan masih bisa dapat WTP,” ucap salah satu juru bicara aksi.

Terkait tudingan tersebut, Wawan menjelaskan, proses pemeriksaan BPK dilakukan berdasarkan prosedur yang telah ditetapkan, dengan keterbatasan waktu dan personel.

Menurutb Wawan, BPK hanya dapat memeriksa sesuai bukti dan fisik pekerjaan yang terpasang di lapangan.

“Kami hanya punya waktu satu bulan untuk audit seluruh OPD dalam satu daerah. Pemeriksaan kami berbasis sampling dan dokumen. Fisik yang kami uji pun kami bawa ke laboratorium provinsi yang terakreditasi,” jelas Wawan.

“Kalau spek dan pelaksanaan sesuai kontrak, ya kami nyatakan sesuai. Tapi kalau ada hal di luar itu, seperti kebijakan program atau manfaat barang seperti Chromebook, itu bukan ranah kami,” tambahnya.

Namun koalisi menilai pendekatan teknis BPK tidak memadai untuk memastikan keadilan anggaran dan mencegah korupsi.

“Di lapangan, materialnya jelek, bangunan roboh. Tapi karena lab bilang sesuai, ya dianggap beres. Ini bukti administrasi bisa menutupi fakta,” ujar peserta audiensi dengan nada tinggi.

Mereka juga menyinggung proyek pengadaan Chromebook yang dinilai tidak sesuai kebutuhan dan rawan penyimpangan karena dilakukan melalui e-katalog dan platform SIPLah yang harganya jauh lebih mahal dari pasar.

“Program Chromebook ini tidak sesuai asas manfaat. Daerah tanpa jaringan tidak bisa memakainya. Tapi tetap dipaksakan. Ini jadi celah korupsi. Kalau sekolah beli di luar SIPLah biar lebih murah, malah jadi temuan. Padahal harga Siplah jauh lebih mahal. Ini sistemnya memang membuka ruang korupsi,” tambahnya.

Soal pertanyaan terhadap proyek-proyek lain seperti pengadaan kapal Airoro di Tojo Una-Una dan proyek-proyek besar di Morowali yang disebut merugikan negara hingga triliunan rupiah, BPK mengaku belum melakukan audit menyeluruh karena keterbatasan sampel dan tidak adanya permintaan khusus dari penegak hukum.

“Kalau memang ada bukti, silakan bawa ke kejaksaan atau kepolisian. Kami akan berkoordinasi kalau ada permintaan resmi,” ujar Wawan.

Menanggapi tudingan politisasi opini audit dan dugaan pertukaran opini dengan insentif daerah, Wawan menegaskan bahwa opini WTP diberikan berdasarkan tingkat materialitas temuan, bukan pada asumsi dugaan korupsi.

Meski demikian, koalisi menegaskan akan terus mengawal kasus-kasus yang mereka anggap janggal, termasuk menelusuri dugaan gratifikasi dalam proses audit dan menuntut transparansi terhadap hasil pemeriksaan yang belum dipublikasikan secara utuh.(NAS)

Tinggalkan Komentar