Pemerintah Jangan Jadi Pemadam Kebakaran
DONGGALA_Masyarakat Donggala terkhusus Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Donggala, sebagai pengambil kebijakan tidak ada kata terlambat untuk merenung dan mengambil langkah tegas dari kerusakan-kerusakan alam akibat aktifitas investasi (tambang) yang tidak peduli dengan lingkungan.
Sebab walaupun izin prinp dari penerbitan setiap IUP adalah kewenangan Kementrian akan tetapi Pemkab dan Pemerintah Provinsi (Pemperov) sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Pertambangan punya kewenangan untuk memberikan rekemendasi untuk usaha Pertambangan tersebut, ini daerah layak atau tidak layak.
“Jadi, jangan setiap ada bencana seperti banjir dari wilayah pertambangan dinas-dinas dan semua pihak terkait selalu kesannya cuci tangan, dan saling lempar tanggungjawab bahwa ini kewenangan pusat. Pada akhitnya rakyat dibodohi lagi. Padahal, IUP tersebut tidak akan pernah ada kalau daerah Provinsi dan Kabupaten tidak memberikan rekomendasi, “jelas Anggota DPRD Donggala Moh. Yasin Lataka, menanggapai pernyataan Bupati Donggala, Vera Laruni.
“Marilah kita jujur, bahwa kerusakan lingukungan saat ini adalah akibat kesalahan masa lalu. Mulai penetapan RT/RW di setiap daerah yang ada di Kabupaten Donggala. Nah, pertanyaannya produk RT/RW ini siapa punya produk ? Ini kan Pemerintah Kabupaten Donggala punya kewenangan yang dimulai dari Bupati, DPRD ssampai dengan tingkat Kepala Desa (Kades), “ paparnya.
“Kenapa saya katakan dari Bupati turun ke bawah, karena kenyataannya RT/RW tersebut bagi masyarakat yang diwakili oleh Kepala Desa sudah desain dari atas. Sedangkan persetujuan masyarakat yang ada itu hanya akal-akalan, yang ada masyarakat dikondisikan, diatur, dijanji-janji dan bahkan ada yang diintimidas, “ bebernya.
Olehnya kata Yasin, dirinya selaku perwakilan rakyat mendorong seluruh pengambil kebijakan sebagaimana komentar (status) Bupati Donggala, Vera Laruni untuk mengevaluasi izin-izin pertambangan yang ada di Kabupatan Donggala, agar benar-benar ini diwujudkan. Jangan cuma gertak sambal.
Yasin menilai perhatian Pemkab Donggala terhadap daerah terisolir seperti di Balaesang Tanjung sangat minim, sehingga Yasin meminta agar membatalkan RT/RW Kecamatan Balaesang yang memasukan wilayah pertambangan.
“Saya selaku perwakilan masyarakat Balaesang Tanjung meminta dan mendesak kepada ibu Bupati dan pihak terkait agar RT/RW untuk Kecamatan Balaesang Tanjung agar dibatalkan masuk daerah partambangan. Karena itu yang menjadi payung hukum untuk aktifitas pertambangan tersebut. Jelas hal ini sangat merusak lingkungan dan sangat merugikan masyarakat di sana, “ tegas Yasin.
Dikatakannya, Kecamatan Balaesang Tanjung yang terdiri dari 8 (delapan) Desa yang didiami kurang lebih 21 ribu jiwa, kelangsungan hidupnya kini terancam dan terganggu dengan adanya aktifitas pertambangan. Karena saat ini sudah dkelilingi usaha partambangan (di Desa Palau, Pomolulu/Awesan dan Walandano).
Perlu dipahami, ungkap Yasin, Kecamatan Balaesang Tanjung itu berbentuk tanjung yang mana bibir pantai sebelah sSelatan (Desa Walandano dan Malei) ke bibir pantai sebelah Utara (Desa Palau dan Pomolulu) ini jaraknya hanya puluhan kilometer. Kalau ini terus-terusan digali ini pasti tembus dan tenggelam Balaesang Tanjung. Yang kedua, daerah tanjung ini memiliki danau. Begitu banyak hutan lindung, hutan manggrove dan masih banyak kearifan lokal yang wajib kita jaga bersama.
Dijelaskan Yasin lagi, sebenarnya kerusakan alam (lingkungan) akibat aktifitas masuk perusahaan di suatu daerah itu penyebab utamanya karena begitu mudahnya pemerintah memberikan rekomendasi, yang pada akhirnya begitu dapat bencana baru pemerintah bertindak. Tentunya membutuhkan anggaran jauh lebih besar.
“Karena saya berpendapat, bahwa kegiatan tambang itu ada dua kerusakan yang ditimbulkannya. Pertama, renggangnya kekeluargaan karena ada yang pro dan ada yang menolak. Kerusakan kedua adalah kerusakan alam itu sendiri, seperti hilangnya sumber air bersih, tercemarnya laut, hilang tempat hidup satwa dan termasuk hilangnya hutan lindung sebagai paru-pru dunia, dll. Tentu pemulihannya jauh lebih besar jika dibandingkan dengan pemasukan ke kas daerah, “ ulas Yasin.
“Apalagi faktanya, khusus Balesang Tanjung perusahaan yang sudah ada tidak ada satupun pengusaha lokal. Semua didomisi pengusaha dari Jakarta dan sekitarnya. Bahkan ada yang tidak tau bahasa Indonesia. Begitu juga tenaga kerjanya banyak yang bukan orang Indonesia. Artinya, orang makan di Balaesang Tanjung berak di Jakarta, “ pungkasnya.(abd)