Benarkah Dana Bagi Hasil Sulteng Hanya 200 Miliar Rupiah ?

7
Ahlis Djirimu (FOTO : ISTIMEWA/KABAR68)

Oleh : Moh. Ahlis Djirimu *)

DANA Bagi Hasil merupakan dana bersumber dari pendapatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan persentase tertentu untuk mendanai kebutuhan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 06/PMK.07/2012 menyebutkan DBH mempunyai tiga jenis yakni DBH Perpajakan meliputi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 29, dan Pasal 29 untuk Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri, serta PPh Pasal 21. Komponen kedua yaitu Cukai Hasil Tembakau (CHT), serta komponen ketiga adalah DBH Sumberdaya Alam meliputi DBH Kehutanan, DBH Mineral dan Batubara, DBH Minyak Bumi dan Gas Bumi, DBH Pengusahaan Panas Bumi, serta DBH Perikanan.

Empat Pilar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD) adalah menurunkan ketimpangan fiskal baik ketimpangan vertikal maupun horizontal, menguatkan Local Taxing Power, Meningkatkan Kualitas Belanja, serta Harmonisasi Belanja Pemerintah Pusat dan Daerah. Dalam fiscal resource allocation, bila Pendapatan Asli Daerah (PAD) bertumpu pada pendanaan sesuai potensi, Dana Alokasi Umum (DAU) fokus menutupi ketidakseimbangan fiskal horizontal, maka DBH berusaha menutup vertical fiscal imbalance. Diskusi di media sosial yang berkembang aktual bertumpu pada DBH Sumberdaya Alam Mineral dan Batubara khususnya logam dasar dan migas. DBH, dalam pelaksanaanya bertujuan pula mengurangi ketimpangan daerah penghasil dan bukan penghasil. Prinsip pelaksanaannya dilakukan by origin, yakni daerah penghasil mendapatkan porsi lebih besar ketimbang daerah bukan penghasil termasuk daerah dalam provinsi. Prinsip lain adalah base on actual revenue, maksudnya penyaluran DBH dilakukan berdasarkan Penerimaan Tahun Anggaran.

Di Tahun 2025, Provinsi Sulteng memperoleh Rp586,2,- miliar, sedangkan daerah penghasil Kabupaten Banggai mendapatkan Rp778,4,- miliar, yang merupakan penerimaan DBH tertinggi di Sulteng berasal dari DBH Migas. Kabupaten Morowali dan Morowali Utara memperoleh masing-masing Rp509,6,- miliar dan Rp334,8,- miliar. Daerah non Penghasil Kepulauan: Banggai Laut dan Banggai Kepulauan hanya memperoleh masing-masing Rp48,3,- miliar dan Rp46,6,- miliar.

Ada beberapa hal yang perlu dilakukan daerah, sehingga tidak saja menuntut porsi besar, tetapi harus berbasis data. Pertama, selama dua puluh tahun lebih pelaksanaan otonomi daerah, pemanfaatan Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) belum optimal. Sebagian besar Dana Alokasi Umum (DAU) atau antara 30-65 persen digunakan bagi belanja pegawai. Di Sulteng, porsi tersebut hingga 40 persen lebih. Usaha mengurangi belanja pegawai hingga 25 persen sedang berlangsung. Ketergantungan tinggi pada Dana Alokasi Khusus (DAK) sebagai satu dari beberapa sumber Belanja Modal juga menjadi tren di daerah.

Kedua, Struktur Belanja yang kurang memuaskan yang tercermin pada program dan kegiatan belum fokus pada pencapaian indikator baik Indikator Kinerja Utama (IKU) maupun Indikator Kinerja Kunci (IKK) karena paradigmanya tetap pada Uang Mengikuti Fungsi , yang tercemin dari OPD menunggu pagu indikatif dan Bappeda membagi. Hal lain yakni adanya kenyataan belum diperkadakannya Perubahan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Tahun 2025 dan RKPD Tahun 2026, dan belum diperdakannya Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) Periode 2025-2029 yang sudah melampaui waktu 40 hari dari tanggal pelantikan pasangan kepala daerah, serta penyusunan Renstra berbarengan dengan RPJMD sesuai Inmendagri Nomor 2 Tahun 2025. Lambatnya pengesahan dokumen tersebut justru memperlambat implementasi Visi dan Misi Pemerintah.

Ketiga, Local Taxing Power di Sulteng masih rendah dari potensinya. Tax Ratio hanya mencapai 3,5 poin, sedangkan potensi Penerimaan Perpajakan mencapai 11,6 poin. Artinya masih ada potensi 8,1 poin Penerimaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di Sulteng yang belum dioptimalkan. Hal ini mencerminkan pula Bapenda belum inovatif dan kreatif mencari potensi sumber PAD.

Keempat, Pemanfaatan Pembiayaan masih terbatas, khususnya Kerjama Pemerintah Badan Usaha (KPBU), serta Sinergi Pemerintah Pusat dan Daerah belum optimal yang tercermin adanya mismatch antara Program dan Kegiatan Pemerintah Pusat dan Pemda, antara Program dan kegiatan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Diskursus yang dikemukan oleh Gubernur Sulteng di DPR RI memberikan Pelajaran tidak saja bagi Pemerintah Pusat, tetapi bagi Pemerintah Daerah. Bagi Pemerintah Pusat, selain Bappenas dan Kemenkeu berkesempatan menghitung ulang potensi DBH bagi daerah penghasil. Eksploitasi kekayaan alam termasuk mineral dan batubara di Indonesia yang didominasi asing, maka Pemerintah Indonesia berpeluang menaikkan pendapat baik pajak maupun royalti melalui perantara Independent Surveyor.

Adanya pengawasan dan monitoring kegiatan tambang di lokasi tambang oleh Independent Surveyor dibantu oleh laboratorium menganalisis mineral apa saja yang selama ini lolos dari pengawasan. Direktorat Jenderal Pajak dan Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) berperan besar memperoleh kebenaran laporan penambang dari lokasi. Independent Surveyor menghitung jumlah kuantitas maupun kualitas mineral yang diproduksi dan diekspor seperti Mine PIT, Run of Mine (ROM), stock pile, end stock pile, dan loading port. Independent Surveyor ini merupakan pengawas kekayaan mineral mengingat kemampuan dan pengetahuannya menghitung kuantitas mineral dengan cara draught survey. Sedangkan kualitas mineral dapat dilakukan melalui uji lab. Tiongkok menggunakan jasa Independent Surveyor melalui China Certification and Inspection Company (CCIC) yang memonitor dan mengontrol setiap ekspor maupun impor ke Tiongkok dan menerapkan China Mining Law Overview yakni menentukan mana mineral yang dapat dieskpor dan mana yang tidak boleh.

Di Indonesia, oleh karena banyak Perusahaan pertambangan merupakan investor asing, kecenderungan melakukan transfer pricing sangat besar. Transfer pricing merupakan upaya penambang untuk mengecilkan harga jual ekspor mineral, agar pembayaran pajak maupun royalti atas penjualan dan ekspor produk pertambangan semakin kecil. Tindakan mengecilkan jumlah harga jual ekspor mineral membuat royalti yang harus dibayarkan pada Pemerintah Indonesia semakin mengecil pula. Selama ini Pemerintah menerapkan system in cash dalam pemungutan royalti, belum menerapkan in kind dalam bentuk penerimaan berwujud barang langsung. Sistem in cash yaitu penambang menjual atau mengeskpor langsung, royalti negara keluar negeri, dan kemudian dibayarkan dalam bentuk tunai kepada Pemerintah Indonesia. Penerapan in kind, yakni royalti negara akan diterima berupa mineral tambang, yang konon diterapkan pada saat berlakunya domestic market obligation (DMO).

Bagi Pemerintah Provinsi Sulteng maupun 13 kabupaten/kota, efisiensi membawa makna sebaiknya fokus pada spending better melalui penganggaran berkualitas. Spending better bermakna penganggaran berbasis kinerja dalam kerangka uang mengikuti program, program mengikuti hasil, hasil mengikuti talent kompetitif para aparatur yang menekankan pada sinkronisasi dan harmonisasi perencanaan dan penganggaran. Beberapa kasus yang muncul di lapangan setelah implementasi dokumen perencanaan dan penganggaran adalah, pertama, Sasaran Strategis tidak terfokus pada hasil, namun masih berorientasi pada kegiatan.

Kedua, Indikator Kinerja tidak mengukur hasil secara tepat. Sasarannya berorientasi pada hasil, namun indikatornya berorientasi kegiatan. Ketiga, Program/Kegiatan tidak terkait dengan pencapaian tujuan/hasil. Keempat, rincian kegiatan tidak sesuai dengan tujuan kegiatan. Spending review merupakan satu dari beberapa solusi yang terdiri dari reviu strategis yang fokus utamanya pada efektivitas dan skala prioritas, serta memberikan rekomendasi kepada pemerintah tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh. Reviu fungsional berfokus pada efisiensi atau bagaimana suatu kebijakan atau program dilaksanakan dengan sumberdaya lebih sedikit.

Sebab, selama ini hanya Kabupaten Morowali yang benar-benar mempunyai Kapasitas Fiskal Tinggi dan Belanja Berkualitas dalam arti tepat mutu, tepat sasaran, tepat waktu dan tepat administrasi. Banggai dan Kota Palu benar mempunyai Kapasitas Fiskal tinggi dalam arti punya uang cukup membiayai pembangunan, tetapi belanjanya belum berkualitas. Hal ini terbalik dengan Bangkep dan Banggai Laut. Dua daerah ini minim uang, namun belanjanya berkualitas. Kontras dengan Provinsi Sulteng, Buol, Donggala, Parigi Moutong, Poso, Sigi, Touna dan Tolitoli yang kapasitas fiskalnya rendah, belanjanya belum berkualitas. Bahasa awam mengatakan: so miskin, boros pula. Walaupun nantinya DBH yang diterima besar, belum tentu serta merta dapat menggunakan secara tepat yang selama ini tercermin evolutifnya penurunan angka kemiskinan yang menempatkan Sulteng secara bergantian dengan Provinsi Sumatera Selatan di posisi sembilan dan sepuluh, kemiskinan tertinggi di Indonesia.

*) Penulis adalah Guru Besar FE-Untad, dan Local Expert Sulteng-Regional Expert Sulawesi Kemenkeu RI.

 

 

Tinggalkan Komentar