Manajemen PT SPM dan PT SW Bereaksi Keras Atas Pernyataan Longki Djanggola

34
KONFRENSI PERS : Direktur PT SPM dan PT SW Abd Rozak didampingi Penasehat Hukum Adv H. Syahlan Lamporo, saat menggelar konfrensi pers menanggapi pernyataan H. Longki Djanggola, Kamis (13/02/2025).

Perusahaan Tetap Aktif Hingga Kini, Berkontribusi kepada Negara dengan Membayar Pajak

PALU-Manajemen perusahaan PT Sinar Putra Murni (PT. SPM) dan PT Sinar Waluyo (PT. SW) bereaksi terhadap pernyataan bersifat politis dari anggota DPR RI Dapil Sulteng H. Longki Djanggola dalam Rapat Kerja Komisi II DPR RI bersama Kementerian ATR/BPN RI pada 30 Januari 2025. Tanggapan atau klarifikasi itu disampaikan kepada media oleh pihak perusahaan didampingi penasehat hukum perusahaan Adv H. Syahlan Lamporo, SH., MH, Kamis (13/02/2025).

Menurut Syahlan, pernyataan yang dilontarkan oleh Longki itu keliru dan tidak sesuai dengan fakta hukum. Apalagi ada tudingan perusahaan menelantarkan lahan. Itu tidak benar. Sejauh ini PT SPM dan PT SW tetap produktif berkarya dan membangun beberapa hunian rakyat hingga ribuan perumahan. Bahkan Perusahaan PT SPM dan PT SW berkontribusi membayar pajak negara, sebagai pemasukan bagi negara.

HGB PT SPM dan PT SW telah diperpanjang sesuai dengan prosedur hukum yang ditempuh. Artinya, perusahaan ini memiliki hak keperdataan dan tetap produktif untuk orang banyak dan negara. Pasca gempa, PT SPM dan PT SW telah memberikan sebagian haknya berupa lahan seluas 30 hektare (bukan 65 hektare) untuk dibangunkan Huntap Tondo II.

Pernyataan tersebut dinilai keliru dan tidak sesuai fakta hukum terkait status tersangka mantan Kepala Kanwil BPN Sulawesi Tengah, Dr. Ir. Doni Janarto Widiantono, serta status kepemilikan tanah di kawasan Hunian Tetap II (Huntap II), Tondo, Kota Palu, ungkap Syahlan, saat menggelar konfrensi pers, Kamis (13/02/2025).

Terkait dengan status Doni, H. Syahlan Lamporo, SH., MH, selaku Kuasa Hukum PT. SPM dan PT. SW menegaskan bahwa Longki Djanggola menyebut Doni sebagai terdakwa dalam rapat tersebut. Padahal Doni masih tersangka. Belum pernah menjalani siding di pengadilan.

Lebih lanjut, Syahlan mengatakan, jika berdasarkan SP2H Nomor B/383/IX/RES.1.9/2024/Ditreskrimum dari Polda Sulawesi Tengah tertanggal 19 September 2024, Doni hanya berstatus tersangka atas dugaan tindak pidana pembuatan surat keterangan palsu, sebagaimana diatur dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP.
Surat keterangan yang dibuat Dr. Doni pada 14 Desember 2021 menyebutkan lahan di kawasan Huntap II Tondo bersih dari klaim atau kepemilikan masyarakat (clean and clear).

Pernyataan ini diduga memfasilitasi pencairan pinjaman dari Bank Dunia, yang melanggar aturan lingkungan dan sosial, serta menghilangkan hak atas tanah milik PT SPM dan PT SW.

“Klien kami dirugikan oleh pernyataan palsu tersebut karena hak-hak mereka atas tanah diabaikan,” tegas Syahlan.

Ia juga menambahkan bahwa tindakan ini melanggar standar internasional Bank Dunia terkait penggunaan tanah. Syahlan menyatakan keberatan atas pernyataan Longki yang seolah mendukung tindakan Doni.

Ia kemudiaan mengingatkan bahwa intervensi pihak tertentu dalam kasus hukum bertentangan dengan prinsip negara hukum.

“Semua pihak harus menghormati proses hukum yang sedang berjalan dan tidak memberikan pernyataan yang dapat memperkeruh suasana,” sergah Syahlan.

Kuasa hukum PT SPM dan PT SW itu juga berharap kasus ini diselesaikan dengan bijaksana demi kepastian hukum dan keadilan bagi semua pihak.
Sebelumnya, Anggota Komisi II DPR RI, Longki Djanggola, meminta Menteri ATR/Kepala BPN Nusron Wahid berkoordinasi dengan Kapolri untuk meninjau kembali kasus hukum yang menimpa mantan Kakanwil BPN Sulawesi Tengah, Doni Janarto Widiantono, pada rapat kerja di Senayan, Kamis (30/1/2025) lalu.
Doni ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan memberikan keterangan palsu dalam laporan PT Sinar Putra Murni (SPM) dan PT Sinar Waluyo (SW) terkait penggunaan lahan 55,3 hektare di Tondo II untuk pembangunan hunian tetap (Huntap) tanpa pelepasan hak dan ganti rugi.

Longki menilai tuduhan tersebut tidak beralasan, mengingat lahan itu sudah lama terbengkalai. HGB mereka sudah puluhan tahun tidak dikelola. Setelah dipakai untuk Huntap bagi penyintas bencana, baru dipersoalkan, tegasnya.
Ia juga menyatakan bahwa penggunaan lahan tersebut dilakukan atas arahan Presiden dan Wakil Presiden untuk membangun 13.000 unit Huntap bagi korban likuifaksi dan tsunami.

“Mereka itu tidak tahu diuntung. HGB yang mereka maksud sudah berpuluh tahun tidak dikelola. Baru setelah lahan itu dipakai untuk Huntap bagi penyintas bencana, mereka persoalkan,” tegas mantan Gubernur Sulteng itu.

Pernyataan Longki inilah yang diklarifikasi oleh pihak Perusahaan PT SPM dan PT SW. Menurut advokat Syahlan, apanya yang tidak tahu diuntung. Perusahaan ini selalu berkontribusi dan membayar pajak untuk negara. Tetapi ada Perusahaan lain yang tidak berkontiribusi, atau terlantar, masih eksis hingga kini.

Mestinya sebagai anggota DPRD beliau membahas tentang begitu banyaknya permasalahan antara penghuni Huntap. Diantaranya, permasalahan jual beli rumah. Ada penghuni sudah mendapatkan hak-haknya berupa bantuan stimulus tetapi masih menerima Huntap, dan masalah yang lain. Harusnya itu yang dibahas, tandas Syahlan.(abd)

Tinggalkan Komentar