
PALU – Empat mantan anggota DPRD Kabupaten dan Provinsi, Burhanuddin Hamzah, Aceng Lahay, Abdul Salam Adam, dan Muhaimin tergabung dalam Aliansi Rakyat Anti Korupsi (ARAK) Sulawesi Tengah, bersama massa aksi, Kamis (10/7/2025) mendatangi Kantor Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulteng, untuk mempersoalkan sejumlah dugaan kasus korupsi yang hingga kini masih dalam tahap penyelidikan.
Dugaan korupsi yang menjadi keempat mantan anggota DPRD provinsi dan kabupaten di Sulteng tersebut menjadi jengah, karena persoalan kasus pengadaan Chromebook di Kabupaten Poso, dugaan penyimpangan dana pembangunan RSUD Poso senilai Rp. 79 milyar, dugaan korupsi dalam pembangunan rumah jabatan di Morowali Utara, masalah legalitas PT. CAS, Kasus PT. Rimbunan Alam Sentosa (RAS) anak usaha PT.Astra Agro Lestari Tbk (AALi), dan dugaan penyalahgunaan dana PEN, bantuan sosial COVID-19 Morowali Utara, serta ketidakwajaran pemberian predikat Wajar Tanpa Pengcualian (WTP) kepada Kabupaten Poso oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Sulawesi Tengah.
Mantan anggota DPRD Provinsi Muhaimin secara tegas mengatakan, dirinya menecurigai kinerja Kejari Poso yang diduga kuat bekerja sama dengan pihak Pemda untuk menutupi kasus korupsi yang ada di kabupaten tersebut.
“Ada dugaan konkret kalau Kejari Poso bekerja sama dengan Bupati, mengamankan korupsi di Poso secara berjamaah. Ini sangat berbahaya. Kalau Kajari tidak dicopot, kerugian negara bisa lebih besar,” ujar Muhaimin.
Sementara Abdul Salam Adam menyoroti dugaan tindak pidana korupsi pengadaan chromebook pada Dinas Pendidikan Kabupaten Poso tahun anggaran 2022, dan telah dilaporkan sejak 18 Oktober 2024 namun hingga kini belum mendapat titik terang.
“Barang yang diterima sekolah tidak sesuai dengan spesifikasi. Selain itu ada juga markup harga sebesar Rp 2 jutaan per unitnya. Akibatnya negara dirugikan hingga Rp. 4 milyar,” kata Abdul Salam Adam.
Sedangkan Burhanuddin Hamzah menyoroti berbagai persoalan di Morowali Utara yang menurutnya sarat kejanggalan.
“Kami melihat ada dugaan korupsi, kolusi dan nepotisme yang sangat merugikan keuangan daerah (Morowali Utara). Bahkan kami curiga pengelolaan dana PEN dan bansos Covid-19 tidak transparan dan rawan dikorupsi. Belum lagi soal PT. CAS yang diduga beroperasi tanpa legalitas yang sah,” ujar Burhanuddin.
Sementara Aceng Lahay menyoroti perkara ketidakwajaran pemberian predikat opini WTP oleh BPK Sulteng kepada sejumlah kabupaten di Sulteng.
“Apakah ini (opini WTP) dikejar demi insentif Rp. 50 Milyar? Ini lucu, opini itu seharusnya diberikan berdasarkan fakta, bukan administrasi belaka,” kata Aceng.
Kata Aceng Lahay, pembangunan RSUD Poso saat ini masih berhenti akibat kontraktor yang belum dibayar sesuai progres hingga pengadaan chromebook yang masih bermasalah menjadikan Poso seharusnya diberikan predikat Wajar Dengan Pengecualian (WDP).
Menanggapi hala tersebut, Asisten Intelijen Kejati Sulteng, Ardi. SH. MH mengatakan, dirinya tidak mendalami secara rinci perkara-perkara yang disuarakan.
“Saya hanya tahu kulit luarnya saja, untuk lebih jelasnya bidang Pidsus lebih paham,” kata Ardi dalam pertemuan dengan perwakilan ARAK di Kejati Sulteng.
Namun hingga pertemuan berakhir, Tim Pidana Khusus (Pidsus) tidak kunjung hadir untuk memberikan penjelasan. Ardi menyebut, pada saat bersamaan Tim Pidsus tengah menggelar ekspos perkara.
Mantan anggota DPRD Poso dua periode Burhanuddin menekankan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap jajaran kejaksaan, terutama di wilayah Morowali Utara, dan mendorong reformasi internal Kejaksaan agar tetap profesional dan berpihak pada kepentingan publik.
“Kami minta untuk Kejati bertindak tegas. Jangan sampai kejaksaan jadi pelindung koruptor,” pungkasnya.(NAS)