PALU – Koordinator Perempuan Mahardika Palu, Stevi Rasinta Papuling, menegaskan bahwa perempuan di Palu masih hidup dalam bayang-bayang kekerasan dan ketidakadilan, meski Indonesia telah merayakan delapan dekade kemerdekaan. Pernyataan itu ia sampaikan dalam konferensi pers Panggung Merdeka 100%, Jumat (15/8/2025).
Stevi menyoroti kasus femisida di Mamboro pada 6 Agustus lalu, ketika seorang perempuan berinisial AN tewas dibakar hidup-hidup oleh suaminya.
“Ini bukan sekadar KDRT, ini adalah puncak kekerasan berbasis gender. Bagaimana kita bisa bilang merdeka kalau perempuan masih dibunuh dengan kejam oleh orang terdekatnya?” ujarnya.
Ia mengkritik pemberitaan yang hanya menyorot motif cemburu sebagai penyebab, tanpa membahas akar masalah kontrol dan kepemilikan berbahaya terhadap tubuh perempuan.
“Peristiwa ini terjadi di depan umum, disaksikan banyak orang. Ini bukti bahwa perempuan tidak aman bahkan di lingkungan yang seharusnya melindungi,” tambahnya.
Stevi juga mengingatkan kasus serupa setahun lalu, ketika seorang pekerja industri nikel di Morowali dibunuh oleh sopir yang mengantarnya. Ia menilai pola kekerasan ini berkelindan dengan ekspansi industri ekstraktif yang merampas tanah, merusak lingkungan, dan memperberat beban perempuan.
“Ketika sumber air hilang, perempuan harus mencari alternatif dengan membeli air, dan itu jadi beban besar, terutama bagi kepala keluarga perempuan di sekitar kawasan industri,” jelasnya.
Menurut Stevi, kondisi tersebut mencerminkan demokrasi yang melemah dan ekonomi yang dikuasai korporasi.
“Kalau kita ingin Indonesia merdeka dari eksploitasi, kekerasan, dan kemiskinan, kita harus menghentikan model pembangunan yang mengorbankan rakyat, terutama perempuan,” tegasnya.
Ia juga menyoroti pembatasan kebebasan berbicara serta meningkatnya kemiskinan.
“Pemerintah sibuk memperluas militer dan merayakan upacara, sementara banyak rakyat kehilangan tanah dan pekerjaan,” kata Stevi.
Sebagai bentuk perlawanan, Perempuan Mahardika bersama komunitas di Palu akan menggelar Panggung Merdeka 100% pada 23 Agustus 2025. Acara itu akan diisi diskusi khusus perempuan, pameran rakyat, dan panggung ekspresi.
“Kami ingin semua orang bisa menyuarakan keresahannya, termasuk solidaritas untuk warga yang berjuang mempertahankan tanah di Poso dari konsesi bank tanah,” ujarnya.
Stevi menegaskan, Panggung Merdeka 100% menjadi ruang politik rakyat untuk merebut kembali kemerdekaan dari ketakutan, ancaman, dan penindasan.
“Ini cara kami melawan narasi pemerintah yang seolah semuanya baik-baik saja, padahal kenyataannya jauh dari itu,” tutupnya.(NAS)