PALU – Kasus kekerasan seksual di Sulawesi Tengah, terus mengkhawatirkan. Hingga Agustus 2025, tercatat ada 365 kasus yang terjadi di wilayah ini. Kota Palu menempati posisi tertinggi dengan 62 kasus.
Koordinator Perempuan Mahardika Palu, Stevi Rasinta Papuling, menilai angka tersebut mencerminkan masalah sosial serius yang membutuhkan perhatian pemerintah daerah maupun lembaga terkait.
“62 kasus kekerasan seksual ini bukan hanya soal fisik, tapi juga psikis, ekonomi, dan seksual. Menurut kami, ini masalah sosial yang harus jadi perhatian utama,” kata Stevi kepada wartawan, Senin (18/8/2025) di Palu.
Stevi menilai, salah satu faktor utama tingginya angka kekerasan adalah ketimpangan gender.
“Banyak laki-laki merasa lebih berkuasa dari perempuan. Itu jadi pemicu utama. Apalagi di kampus, sering ada kasus yang tidak terungkap dengan alasan suka sama suka,” jelasnya.
Stevi menyebutkan, kondisi ekonomi keluarga juga kerap memicu kekerasan dalam rumah tangga.
“Faktor ekonomi membuat tekanan dalam keluarga semakin besar, sehingga memicu terjadinya kekerasan. Ditambah minimnya pemahaman masyarakat tentang apa itu kekerasan dan dampaknya, membuat korban sering memilih diam,” katanya.
Stevi menegaskan, korban kerap enggan melapor karena takut stigma sosial atau tidak dipercaya.
“Banyak yang takut dan malu melapor. Ada yang khawatir justru disalahkan. Bahkan ketika ingin mendapat perlindungan hukum atau pendampingan, aksesnya masih sulit,” tegasnya.
Menurut Stevi, upaya pencegahan bahaya kekerasan dan edukasi kesetaraan gender menjadi langkah paling penting yang harus diberikan sejak usia dini.
“Masyarakat juga harus diajak untuk tidak menoleransi kekerasan. Jangan lagi menyalahkan korban, apalagi perempuan yang jadi korban,” tambah dia.
Terkait usia korban, Stevi mengungkapkan banyak kasus menimpa anak-anak dan remaja. “Dari informasi teman-teman gerakan perempuan, banyak korban masih usia sekolah, bahkan ada anak-anak SD hingga SMP yang jadi korban di rumahnya sendiri,” katanya.
Meski Perempuan Mahardika Palu belum memiliki layanan pendampingan hukum secara khusus, mereka berperan sebagai penghubung dengan lembaga lain.
“Kalau ada korban yang datang ke kami, biasanya lewat DM media sosial, kami bantu hubungkan ke lembaga seperti Libu Perempuan yang punya pendamping hukum. Kami juga jadi pendengar yang berpihak pada korban,” jelas Stevi.
Ia menegaskan, kasus kekerasan seksual di Sulawesi Tengah harus segera ditangani dengan serius.
“Dengan angka yang setinggi ini, pemerintah dan masyarakat tidak boleh tinggal diam. Pencegahan dan penanganan harus direncanakan dengan matang,” tutupnya. (nas)