Kabar68.PALU – Pernyataan dari Ketua FKUB Sulawesi Tengah, KH. Zainal Abidin, yang menegaskan bahwa kerukunan tidak diwujudkan dengan menghilangkan perbedaan karena hal itu adalah sebuah kemustahilan. Kerukunan terwujud justru melalui penghormatan dan penghargaan terhadap wujudnya perbedaan, sehingga tidak melahirkan sikap merasa benar sendiri yang merupakan inti dari filosofi moderasi beragama dan kerukunan sosial yang matang.
Pernyataan ini berakar pada penerimaan terhadap realitas sosial Indonesia. Keragaman yang melimpah baik dari segi suku, bahasa, maupun agama dan kepercayaan adalah kekayaan dan keniscayaan sosial.
KH. Zainal Abidin secara tegas menyatakan bahwa mencoba menghilangkan perbedaan adalah sebuah kemustahilan.
Bahkan dalam komunitas agama yang sama, masih terdapat perbedaan mazhab dan pemikiran. Oleh karena itu, mencari kerukunan melalui keseragaman adalah upaya yang kontraproduktif dan tidak realistis.
Filosofi kerukunan sejati yang ditawarkan oleh Prof Zainal terletak pada penguatan sikap terhadap perbedaan, bukan pada upaya meniadakannya.
Kerukunan terwujud justru melalui dua pilar yang saling mendukung yakni penghormatan dan penghargaan.
Penghormatan adalah bentuk inklusif dan realistis, yang menyadari bahwa setiap agama memiliki karakteristik khas dan membedakannya dari agama lain.
Namun, dari sudut pandang sosiologis, setiap umat harus memahami bahwa orang lain pun memiliki keyakinan terhadap ajaran agama mereka, karena keyakinan adalah wilayah yang sangat subjektif.
Dengan penghormatan terhadap keyakinan orang lain, tidak serta merta membuat keyakinan kita terhadap agama yang dianut luntur.
Dalam Alquran Surah Al-Kafirun disebutkan untukmu agamamu dan untukku agamaku, menyiratkan makna penghormatan terhadap agama yang dianut orang lain.
Sikap berikutnya ialah penghargaan. Tidak hanya menghormati keberadaan perbedaan, tetapi juga menghargainya.
Penghargaan ini akan memfasilitasi pencarian titik temu yang menyatukan perbedaan tersebut dalam kehidupan bersama secara harmonis.
Puncak dari penghormatan dan penghargaan ini adalah terhindarnya individu dari sikap merasa benar sendiri.
Sikap ini, yang sering menjadi api penyulut konflik dampak dari krisis keberagaman.
Ketika umat beragama hanya fokus pada dogmatis-teologisnya dan gagal berinteraksi dengan keragaman sosiologis, mereka rentan terjebak dalam sikap prasangka yang menimbulkan rasa saling curiga satu sama lain.
Sebaliknya, kerukunan sejati menuntut sikap rendah hati (tawadhu’) dan inklusif.
Dengan mengedepankan persamaan terutama nilai-nilai humanis universal yang disepakati oleh semua ajaran agama dan menerima bahwa beragama tidak boleh membuat kita merasa paling benar.
Kerukunan adalah hasil dari kesadaran bahwa persatuan didapatkan melalui pemakluman, bukan pemaksaan kesamaan.(*/BAR)






