Kabar68.Palu – Yayasan Advokasi Masyarakat Madani Indonesia (Yammi) Sulawesi Tengah menyampaikan duka cita mendalam atas meninggalnya seorang penambang akibat longsor di area Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Kelurahan Poboya, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, pada Kamis malam, 9 Oktober 2025.
Peristiwa tragis yang terjadi sekitar pukul 19.00 WITA di lokasi tambang ilegal Vavolapo itu menewaskan seorang penambang berinisial HR, yang tertimbun saat memuat material ke truk.
“Tragedi ini bukan pertama kalinya menimpa para pekerja tambang ilegal di Poboya. Baru beberapa bulan lalu, tepatnya awal Juni 2025, dua penambang tewas dalam kejadian serupa di lokasi ‘Kijang 30’,” ujar Direktur Kampanye dan Advokasi Yammi Sulteng, Africhal Khamane’i, dalam keterangan tertulis, Jumat (10/10/2025).
Africhal menjelaskan, satu korban dalam insiden sebelumnya berasal dari Kecamatan Palolo dan meninggal di lokasi, sedangkan satu lainnya dari Provinsi Gorontalo menghembuskan napas terakhir dalam perjalanan menuju rumah sakit.
“Pola yang sama terulang: longsor datang tiba-tiba, menimbun para pekerja yang sedang beraktivitas, dan merenggut nyawa dengan cepat,” ujarnya.
Menurut Africhal, kejadian berulang ini menunjukkan bahwa aktivitas tambang ilegal di Poboya telah menjadi “bom waktu” yang sewaktu-waktu dapat kembali menelan korban jiwa.
“Para penambang di sana adalah warga yang terdesak secara ekonomi, namun mereka dihadapkan pada kondisi kerja yang sangat berbahaya tanpa standar keselamatan. Tidak ada pengawasan, tidak ada prosedur keselamatan, dan tidak ada jaminan perlindungan bagi para pekerja,” tegasnya.
Ia menyoroti lemahnya tindakan aparat meskipun aktivitas tambang ilegal itu telah berulang kali memakan korban. Africhal mempertanyakan siapa yang sebenarnya diuntungkan dari kegiatan berisiko tinggi tersebut.
“Pertanyaan mendasar yang harus dijawab adalah mengapa praktik ilegal yang membahayakan nyawa manusia ini masih dibiarkan berlangsung? Siapa yang diuntungkan dari tambang tanpa izin ini? Dan mengapa nyawa manusia seolah menjadi harga yang murah dalam bisnis gelap pertambangan?” kata Africhal.
Yammi Sulteng mendesak aparat penegak hukum, khususnya Polresta Palu, Kejaksaan Negeri Palu, dan instansi terkait, untuk segera bertindak tegas.
“Pertama, aparat harus mengusut tuntas jaringan dan aktor intelektual di balik operasional PETI Poboya yang telah beroperasi bertahun-tahun tanpa izin,” ujarnya.
“Kedua, menindak tegas para pemilik dan pengelola tambang ilegal sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Ketiga, menutup secara permanen seluruh lokasi PETI yang ada di Poboya. Dan keempat, mengungkap kemungkinan adanya pembiaran atau bahkan keterlibatan oknum aparat yang memungkinkan aktivitas ilegal ini terus berlangsung,” sambungnya.
Africhal menegaskan, tragedi di Poboya harus menjadi momentum bagi pemerintah dan penegak hukum untuk menegakkan aturan dan melindungi keselamatan warga. “Jangan tunggu ada korban lagi baru bergerak,” tegasnya.(NAS)






