Kabar68.Palu — Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah menargetkan rehabilitasi Taman Budaya selesai pada 2027. Hal itu disampaikan Kepala Dinas Kebudayaan Sulteng, Andi Kamal Lembah, dalam Dialog Recovery Taman Budaya yang digelar Minggu (28/9/2025) di Taman Budaya Sulteng.
“Pemanfaatan lahan seluas 2,1 hektare ini akan difokuskan untuk tiga hal. Pertama, pembangunan Balai Pelestarian Kebudayaan. Kedua, rehabilitasi berat gedung pertunjukan tertutup. Dan ketiga, pembangunan gedung pertunjukan terbuka di bagian belakang,” jelas Andi Kamal.
Menurutnya, hasil kunjungan bersama Kementerian Kebudayaan dan BPK Wilayah 18 sepekan lalu menunjukkan struktur bangunan masih kuat.
“Mereka merekomendasikan untuk dijadikan rehabilitasi berat. Ini kolaborasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah,” ujarnya.
Andi Kamal menambahkan, status tanah Taman Budaya sudah bersertifikat digital.
“Dari 3,5 hektare, kini tersisa 2,1 hektare. Sudah tidak ada lagi pihak luar yang bisa mengklaim,” tegasnya.
Ia juga mengungkapkan, Dinas Kebudayaan yang resmi berdiri sejak 2023 belum memiliki kantor definitif.
“Kami masih menumpang di Museum Sulteng. Padahal PP Nomor 66 melarang ada kantor lain selain museum. Karena itu, Bapak Gubernur merekomendasikan kami menempati Taman Budaya,” katanya.
Pembagian ruang, lanjutnya, telah dirancang, Balai Pelestarian Kebudayaan di sebelah kanan, kantor Dinas Kebudayaan di tengah, dan UPT Taman Budaya di sebelah kiri.
“Insya Allah, target kita 2026 mulai dikerjakan, 2027 bisa dimanfaatkan. Perasaan seniman di Palu dan Sulteng tentu akan lega,” tambahnya.
Selain itu, Andi Kamal membeberkan program Berani Harmoni yang akan mengembangkan Hutan Pelotai sebagai kawasan budaya.
“Di sana akan ada rumah adat, pasar seni, dan ruang kreasi lainnya. Jadi bukan hanya di Taman Budaya, tapi juga di hutan kota,” tuturnya.
Sementara itu, Sekretaris Dinas Kebudayaan Sulteng, Ansari, menyoroti minimnya perhatian pemerintah daerah terhadap peristiwa kebudayaan yang lahir dari pengalaman bencana di Sulteng.
“Bencana besar di Sulteng bukan hanya dirasakan daerah, tapi juga dunia. Itu bisa menjadi sumber pengetahuan, berkesenian, dan kebudayaan. Sayangnya, pemerintah daerah belum hadir penuh dalam kegiatan tahunan seperti ini,” kata Ansari.
Ia juga menyesalkan belum adanya museum yang menampung artefak serta ruang publik untuk mengenang sejarah bencana.
“Sekarang lahan Taman Budaya hanya dipenuhi rumput, kecuali gerakan seniman yang punya kepedulian. Harusnya pemerintah hadir,” tegasnya.
Lebih jauh, Ansari menilai Sulteng membutuhkan event besar berskala nasional untuk memperkuat eksistensi seniman lokal.
“Kita belum punya pameran nasional atau pertunjukan teater nasional yang rutin. Padahal, seniman kita punya karya luar biasa. Mereka butuh ruang khusus, bukan sekadar dipamerkan di kantor gubernur saat HUT provinsi,” ungkapnya.
Ia berharap pemerintah segera menetapkan kepengurusan definitif Dewan Kesenian Sulteng agar dapat bermitra dengan komunitas seni.
“Kami sering ditanya kementerian, siapa dewan kesenian yang resmi. Sampai sekarang belum ada kesepakatan yang jelas,” pungkasnya.(NAS)