Kabar68.Palu – Lembaga Adat Kelurahan Poboya menggelar ritual adat di Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) Kijang 30, Vatutempa, Kelurahan Poboya, Selasa (21/10). Ritual ini merupakan tradisi turun-temurun masyarakat adat Poboya sebagai bentuk permohonan keberkahan rezeki dari Allah SWT melalui sumber daya alam, khususnya tambang emas di wilayah tersebut.
Pelaksanaan ritual diawali dengan libu nua ada (musyawarah adat) oleh para tokoh adat untuk menentukan waktu dan maksud pelaksanaan ritual. Prosesi ini dipimpin sesepuh adat Poboya, Djatu, yang menyiapkan perlengkapan seperti: sambulu sirih, pinang, tembakau, kapur sirih, beras ketan tiga warna, cucur, wajik, daging ayam, dan tuak. Semua perlengkapan itu disusun di tempat khusus sebelum pembacaan mantra kepada leluhur dimulai.
“Ritual ini adalah cara kami memohon berkah rezeki melalui tambang emas yang ada di tanah adat Poboya. Kami percaya, doa dan penghormatan kepada leluhur akan menjaga keseimbangan antara manusia dan alam,” ujar Djatu saat ditemui di lokasi.
Bagian akhir dari prosesi ritual ditandai dengan pelepasan kambing berwarna putih sebagai simbol permohonan rezeki. Warna putih diyakini melambangkan kesucian, keberkahan, dan rezeki yang halal. Melepaskan hewan tersebut diharapkan membawa limpahan rezeki serta keseimbangan spiritual bagi masyarakat Poboya.
Ritual adat ini diinisiasi oleh tokoh Lembaga Adat Poboya, Idiljan Djanggola, bersama jajaran pengurus, di antaranya Herman Pandejori selaku Sekretaris Adat dan Arsid Lanusu sebagai Bendahara Adat. Sejumlah tokoh masyarakat lingkar tambang turut hadir menyaksikan prosesi yang berlangsung khidmat tersebut.
Tokoh masyarakat Poboya sekaligus Sekretaris Koperasi Poboya, Mohamad Arfan, menegaskan bahwa ritual adat ini juga menjadi penanda keberadaan masyarakat adat yang masih hidup dan berperan di wilayah tambang Poboya.
“Pelaksanaan ritual adat ini menandakan masih adanya masyarakat adat Poboya yang mendiami wilayah pertambangan PT Citra Palu Mineral (CPM). Karena itu, kami berharap perusahaan memperhatikan kepentingan masyarakat adat dan melibatkan mereka dalam kegiatan operasionalnya,” tutur Arfan.
Ia menambahkan, masyarakat adat Poboya kini tengah memperjuangkan hak pengelolaan sebagian wilayah pertambangan seluas sekitar 246 hektare dari area konsesi PT CPM untuk dikelola sebagai Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR).
“Kami ingin masyarakat bisa berdaulat di wilayah sendiri dan mendapatkan pengakuan atas hak-hak mereka atas tanah serta sumber daya alam. Pemerintah harus mendorong penciutan wilayah tambang PT CPM dan mengesahkan WPR untuk masyarakat Poboya,” tegasnya.
Arfan menilai, langkah tersebut sejalan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang menekankan pentingnya pengelolaan tambang guna meningkatkan manfaat ekonomi yang adil dan merata bagi masyarakat.
“Kalau WPR disahkan, masyarakat bisa mengelola tambang secara legal dan mandiri. Ini bukan hanya soal ekonomi, tapi juga soal keadilan dan keberlanjutan hidup masyarakat adat,” ujarnya menutup. (NAS)






