Hentikan Intervensi Pers, Karya Jurnalistik Bukan Ranah Satgas BSH
PALU – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Perwakilan Sulawesi Tengah memberikan perhatian serius terhadap polemik pembentukan Satuan Tugas Berita Bohong (Hoaks) atau Satgas Berani Saber Hoaks (BSH) oleh Gubernur Sulawesi Tengah. Atensi ini muncul setelah pernyataan resmi Satgas BSH yang menilai sejumlah pemberitaan media massa sebagai “gangguan informasi” kategori malinformasi, sehingga memicu kritik dari kalangan pers.
Kontroversi bermula dari dokumen Klarifikasi Media Nomor: 001/KM/Satgas-BSH/XII/2025 yang dikeluarkan Satgas BSH. Dalam pernyataan tersebut, Tim Monitoring Satgas BSH menyebut pada Senin, 22 Desember 2025, pihaknya menemukan sejumlah pemberitaan media online yang dibagikan di media sosial dan dinilai bermasalah. Beberapa judul yang disorot antara lain “ANOMALI Anwar Sang Gubernur: Satu Pohon dan Obral Izin Tambang di Morowali”, “Kemarahan Anwar Hafid Soal Pohon Rujab Ditebang, Seperti ‘Senjata Makan Tuan’”, serta “Hanya Omon-omon? Anwar Hafid ‘Ngamuk’ Gegara Sebatang Pohon, Ribuan Hektar Hutan Dibabat Saat Jadi Bupati Morowali”.
Satgas BSH menyatakan bahwa berdasarkan hasil analisis dan kajian tim teknis, judul dan isi pemberitaan tersebut masuk dalam kategori gangguan informasi yang bersifat malinformasi. Pernyataan inilah yang kemudian memicu kekhawatiran di kalangan jurnalis dan organisasi pers, karena dinilai menyerempet penilaian terhadap karya jurnalistik.
Menanggapi polemik tersebut, Ketua Komnas HAM Perwakilan Sulawesi Tengah, Livand Breemer, menegaskan bahwa kemerdekaan pers merupakan pilar utama demokrasi dan wujud kedaulatan rakyat yang dijamin oleh konstitusi. Menurutnya, negara tidak boleh menempatkan diri sebagai penentu kebenaran informasi secara sepihak, terlebih jika menyasar produk jurnalistik.
Komnas HAM Sulteng menilai keberadaan Satgas BSH berpotensi mengancam hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi sebagaimana dijamin Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 serta Pasal 19 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Satgas pemerintah, kata Livand, tidak boleh berubah menjadi “polisi kebenaran” yang menilai atau membatasi arus informasi publik.
Penekanan khusus juga diberikan pada ancaman terhadap independensi pers. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers secara tegas melarang segala bentuk penyensoran, pembredelan, dan intervensi terhadap kerja pers nasional. Komnas HAM menegaskan bahwa apabila Satgas BSH menilai, mengklasifikasi, atau menyimpulkan produk jurnalistik sebagai malinformasi, maka tindakan tersebut merupakan intervensi langsung terhadap kemerdekaan pers yang dilindungi undang-undang.
Komnas HAM Sulteng juga menyoroti risiko kriminalisasi jurnalis yang kian menguat. Berdasarkan data pengaduan Komnas HAM Sulteng Tahun 2025, tercatat adanya kasus kriminalisasi terhadap jurnalis. Kondisi ini menunjukkan bahwa pekerja pers berada dalam posisi rentan, sehingga keberadaan Satgas yang tidak memiliki batas kewenangan jelas justru berpotensi memperluas praktik pembungkaman kritik.
Merespons situasi ini, Komnas HAM Perwakilan Sulawesi Tengah meminta Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah meninjau kembali tugas dan fungsi Satgas BSH agar tidak memasuki ranah penegakan hukum maupun penilaian atas karya jurnalistik yang menjadi kewenangan Dewan Pers. Pemerintah juga didorong mengedepankan penguatan literasi digital masyarakat sebagai pendekatan utama dalam menangkal berita bohong.
Komnas HAM menilai pelibatan organisasi pers seperti AJI, PWI, dan IJTI menjadi penting dalam setiap kebijakan yang berkaitan dengan arus informasi publik. Negara juga diminta menjamin rasa aman bagi jurnalis dalam menjalankan fungsi kontrol sosialnya, seiring meningkatnya aduan pelanggaran hak atas rasa aman di Sulawesi Tengah.
“Kebebasan pers adalah oksigen bagi demokrasi. Jangan sampai Satgas BSH menjadi alat untuk menjaga citra kekuasaan dan membungkam kritik,” tegas Livand Breemer dalam rilisnya, Selasa (30/12/2025).
Komnas HAM Sulteng menyatakan akan terus mengawal kebijakan ini agar tetap berada dalam koridor hukum dan hak asasi manusia, serta mengajak insan pers untuk bekerja profesional sesuai Kode Etik Jurnalistik dan melaporkan setiap bentuk intimidasi atau upaya pembungkaman oleh pihak mana pun. (*/bar)






