Keadilan Restoratif di Sigi, Suami Istri Penganiaya Bidan Lolos dari Bui

8
RESTORATIVE- Plt. Kepala Kejati Sulteng Zullikar Tanjung, S.H., M.H, didampingi Kajari Sigi, kembali memimpin ekspose penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restorative justice, secara virtual. (FOTO PENKUM KEJATI SULTENG)

PALU – Plt. Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah Zullikar Tanjung, S.H., M.H, didampingi Kajari Sigi dan Aspidum Kejati Sulteng, kembali memimpin ekspose penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restorative, secara virtual bersama Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM Pidum) Kejaksaan Agung Republik Indonesia.

Dalam ekspose tersebut, perkara yang diusulkan untuk penghentian penuntutannya berasal dari Kejaksaan Negeri Sigi, dengan tersangka Mohamad Zakir alias Papa Ainun dan Dita Auditya alias Dita, yang merupakan pasangan suami istri, yang melanggar Pasal 170 Ayat (2) ke-1 KUHP atau pasal 351 Ayat (1) Jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHPidana.

Sementara yang menjadi korban dalam perkara tersebut yakni, Veni Oktaviani alias Mama Kirana, seorang bidan yang bertempat tinggal di lingkungan yang sama dengan para tersangka. Dimana, peristiwa terjadi pada malam hari, 22 Maret 2025, di Desa Soulowe, Kecamatan Biromaru, Kabupaten Sigi.

Tersangka Dita merasa tersinggung setelah mendengar laporan dari anaknya bahwa korban bersama teman-temannya diduga mengejek saat ia melintas di lapangan sepak bola.

Merasa harga dirinya dilukai, Dita dan suaminya Zakir, menunggu korban di depan rumah dan melakukan kekerasan fisik saat korban melintas yang mengakibatkan luka memar dan lecet pada tubuh korban.

Meski demikian, proses hukum tidak berhenti pada aspek represif. Berdasarkan pendekatan keadilan restoratif, Jaksa Penuntut Umum Kejari Sigi melakukan langkah fasilitatif dengan mempertemukan para pihak dalam suasana musyawarah yang konstruktif.

Permohonan penghentian penuntutan kemudian diajukan kepada JAM Pidum, dan telah mendapat persetujuan setelah mempertimbangkan bahwa kedua tersangka belum pernah melakukan tindak pidana sebelumnya, menyesali perbuatannya, memiliki tanggungan keluarga dengan tiga anak yang masih bersekolah, korban tidak mengalami gangguan permanen dan para tersangka telah memohon maaf kepada korban dan korban memaafkan para tersangka secara sukarela.

Selain itu, biaya pengobatan korban ditanggung BPJS, kerugian materiil telah dipulihkan, dan masyarakat sekitar turut mendukung penyelesaian damai demi menjaga harmoni lingkungan.

Melalui kasus tersebut, Kejati Sulteng menunjukkan bahwa penegakan hukum yang ideal bukan hanya sekadar memenjarakan, tetapi juga memberi ruang bagi penyelesaian yang bermartabat, edukatif, dan berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan.

Dalam konteks tersebut, keadilan restoratif menjadi wajah baru penegakan hukum yang lebih berempati, mendorong tanggung jawab sosial, serta menjawab harapan masyarakat untuk hidup damai dan harmonis.(PEMKUM KEJATI SULTENG)

Tinggalkan Komentar