Kavar68PALU — Masyarakat adat Poboya, penambang rakyat, dan warga lingkar tambang memastikan akan menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor PT Citra Palu Minerals (CPM), Senin (15/12/2025). Aksi ini menjadi bentuk penagihan janji perusahaan terkait rencana penciutan lahan kontrak karya di Blok Poboya.
Pernyataan tersebut disampaikan perwakilan masyarakat, Kusnadi Paputungan, Minggu (14/12/2025), sehari sebelum aksi berlangsung. Ia menegaskan, unjuk rasa tidak sekadar menjadi ajang penyampaian aspirasi, tetapi sebagai upaya mendesak PT CPM segera mengajukan surat permohonan penciutan kontrak karya ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
“Unjuk rasa ini bukan hanya menyampaikan pendapat atau unek-unek. Ini cara kami mendesak PT CPM agar segera membuat surat permohonan penciutan ke Kementerian ESDM di Jakarta,” kata Kusnadi.
Menurut Kusnadi, tuntutan penciutan lahan tidak bisa dilepaskan dari nilai historis, kultural, dan sosiologis masyarakat adat Kaili Tara yang secara turun-temurun menggantungkan hidup di Gunung Poboya. Ia menilai, kebijakan perusahaan selama ini justru menempatkan masyarakat lokal dalam posisi tidak adil.
“Kami dituduh melakukan penambangan ilegal, mencuri di tanah sendiri. Padahal ini wilayah leluhur kami. Penciutan adalah jalan untuk meletakkan kembali harkat dan martabat Suku Kaili Tara di Bumi Tadulako,” ujarnya.
Ia juga menyebut, jika penciutan lahan tidak diperjuangkan, masyarakat adat berisiko terusir dari wilayahnya sendiri. Situasi tersebut, kata dia, menjadi pertaruhan serius atas harga diri dan keberlanjutan hidup generasi mendatang.
“Kalau penciutan tidak dilakukan atau gagal kami perjuangkan, cepat atau lambat kami sebagai pemilik wilayah akan terusir dari tanah kami sendiri,” tegas Kusnadi.
Dalam pernyataan sikapnya, masyarakat menyoroti dominasi penguasaan wilayah tambang oleh jajaran direksi dan komisaris perusahaan yang dinilai tidak memiliki keterikatan sosial dan kultural dengan Poboya. Sementara itu, warga lokal justru menghadapi kriminalisasi saat beraktivitas di tambang rakyat.
Melalui aksi tersebut, masyarakat adat Poboya, penambang, sopir dump truck, pedagang, serta berbagai elemen lain menyampaikan tiga tuntutan utama. Pertama, PT CPM diminta segera mengajukan surat permohonan penciutan kontrak karya Blok Poboya ke Kementerian ESDM sesuai peta dan titik koordinat yang diajukan Lembaga Adat Poboya. Kedua, perusahaan diminta membuka dan menunjukkan surat permohonan penciutan tersebut kepada seluruh elemen masyarakat yang terlibat dalam aksi. Ketiga, jika tuntutan itu tidak dipenuhi, masyarakat mendesak PT CPM angkat kaki dari Poboya.
“Apabila tuntutan ini tidak dipenuhi, PT CPM harus segera angkat kaki dari Poboya sebelum kami mengusir secara paksa dari Tanah Kaili,” kata Kusnadi.
Sementara itu, masyarakat Poboya telah menyampaikan surat pemberitahuan aksi kepada Polresta Palu tertanggal 13 Desember 2025. Dalam surat tersebut, mereka menyatakan aksi unjuk rasa sebagai bagian dari kebebasan berpendapat yang dijamin konstitusi.
Aksi dijadwalkan berlangsung pada Senin (15/12/2025) di koridor jalan masyarakat menuju lokasi tambang rakyat Poboya, tepat di depan Kantor PT CPM. Peserta aksi berasal dari warga penambang, masyarakat adat Poboya, serta masyarakat lingkar tambang.
Sementara itu hingga berita ini diterbitkan, Sudarto selaku Consul Senior PT CPM dan Direktur BRMS, Muhammad Sulthon belum memberikan keterangan saat dikonfirmasi melalui whatsap di hari yang sama.(NAS).






