BANGGAI – Direktur PT. Teku Sirtu Utama (TSU), Rocky Martianus mewarning kepada para kontraktor yang hanya memanfaatkan dokumen galian C, untuk kepentingan persyaratan kelengkapan dokumen tender proyek. Biasanya, setelah tender proyek dimenangkan, pihak kontraktor gagal atau tidak mengambil material galian C di PT. PSU. Apabila ada temuan dan timbul permasalahan hukum, kontraktor tersebut harus bertanggungjawab.
“Hal ini sering terjadi. Ini bukan rahasia umum lagi bagi para kontraktor. Dokumen PT. TSU biasanya hanya dimanfaatkan untuk kepentingan kelengkapan dokumen persyaratan lelang atau tender proyek pada instansi pemerintah, tetapi material galian C yang digunakan bukan dari lokasi PT. TSU, sehingga kami tidak akan bertanggungjawab jika ada temuan atau permasalahan hukum dalam kegiatan proyek. Silahkan kontraktornya bertanggungjawab,” tegas Ko Rocky, sapaan akrab Direktur PT. TSU kepada Radar Sulteng, di kantor PT. TSU Desa Teku Kec. Balantak Utara, Sabtu (23/8).
Dikatakannya, dalam membantu kepentingan Pemerintah dan masyarakat, pada prinsipnya PT. TSU selalu membuka pintu lebar-lebar bagi siapa saja yang membutuhkan material galian C.
“Kami tidak akan mempersulit bagi siapa saja yang membutuhkan material galian C dilokasi PT. TSU, apalagi untuk kepentingan umum. Welcome di PT. TSU. Namun, semua itu tentu tak lepas dari mekanisme dan prosesdur perusahaan. Khusus bagi para kontraktor, yang hanya memanfaatkan dokumen galian C PT. TSU untuk kepentingan tender proyek, tentunya kami meminimalisir dan akan memperketat, sehingga kejadian-kejadian seperti ini tidak akan terulang lagi,” jelas Rocky, putra asli kota Luwuk.
Informasi yang dihimpun Radar Sulteng, berdasarkan hasil tim auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, Perwakilan Sulteng, yang tertuang dalam LHP atas Belanja Daerah Kab. Banggai TA.2024, adalah sebuah bukti dimana ada 4 rekanan, masing-masing CV. LCC, CV.TM, CV.MWR dan CV.ABR, yang telah memanfaatkan dokumen PT. TSU sebagai dukungan kebutuhan material galian C dalam persyaratan tender proyek, namun setelah tender dimenangkan, rekanan dimaksud ternyata tidak menggunakan material galian C milik PT. TSU.
Adapun dalam kegiatan proyek tersebut, ke-4 perusahaan itu masing-masing, CV. LCC (Pekerjaan peningkatan jalan Tongkonunuk-Jayabakti) dan (Pekerjaan peningkatan jalan Lobu-Balean). CV. TM (pekerjaan jalan Bella-Saiti), CV. MWR (pekerjaan peningkatan jalan Dondo-Soboli SPB Bunta) dan CV. ABR (Pekerjaan Peningkatan jalan pagimana-Asaan), yang menyedot uang rakyat miliaran rupiah melalui pos APBD.
Akibatnya, pekerjaan peningkatan jalan yang dikerjakan oleh pihak kontraktor dimaksud otomatis tidak akan menjamin kualitas nilai kepadatan Lapis Pondasi Agregat (LPA) kelas A karena berada dibawah 100 %. Hal ini disebabkan karena tingginya kadar air atau gradasi agregat yang tidak memenuhi standar yang ditetapkan dalam spesifikasi umum sesuai ketentuan.
Menurut catatan BPK RI Perwakilan Sulteng, hal ini terbukti setelah dilakukan pengujian steve analyst (analisi saringan) dengan mengambil sample kelas A dari masing-masing paket pekerjaan, lalu kemudian diuji pada laboratorium UPTD peralatan dan pengujian Dinas PUPR, yang bertujuan untuk menentukan distribusi ukuran partikel atau gradasi agregat yang digunakan dalam LPA kelas A dan memastikan agregat yang digunakan memenuhi spesifikasi yang ditetapkan untuk stabilitas dan kekuatan lapisan pondasi pada pekerjaan jalan.
Dari hasil pengujian laboratorium, ditemukan bahwa gradasi agregat yang digunakan pada LPA kelas A oleh ke-4 perusahaan yang melaksanakan pekerjaan proyek peningkatan jalan, ternyata tidak memenuhi kriteria yang ditetapkan berdasarkan spesifikasi umum. Hal ini disebabkan oleh penggunaan agregat kasar bukan batu pecah, seperti yang dipersyaratkan dalam spesifikasi, sehingga komponen antar agregat kurang memiliki daya ikat untuk menjaga kestabilan struktur lapisan pondasi jalan.
Ditempat terpisah, salah seorang aktivis di Sulteng, kepada Radar Sulteng, Asrudin Rongka menilai bahwa, terkait permasalahan ini, bagi kontraktor dapat dikenakan sanksi-sanksi yang bertujuan untuk memastikan kepatuhan penyedia barang/jasa terhadap peraturan pengadaan dan dapat disertai tuntutan ganti rugi secara perdata, serta pelaporan pidana jika ada pelanggaran serius.
Bagi perusahaan yang gagal atau tidak mengambil material yang telah ditentukan dalam pengadaan lelang proyek, dapat dikenakan sanksi administrasi berupa penyitaan jaminan pelaksanaan, denda, pembatalan penawaran, hingga berpotensi pemblokiran atau masuk daftar hitam (blacklist).
“Hal ini diatur dalam Perpres No.12 tahun 2021 tentang pengadaan barang/jasa pemerintah dan Peraturan dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Intinya, permasalahan seperti ini dapat menimbulkan sanksi berat, baik sanksi administrasi maupun sanksi pidana,” ujarnya.(MT)