PALU – Pemberian gelar adat Tomaoge Tomanasa ri Tanah Kaili kepada Gubernur Sulawesi Tengah, Anwar Hafid, oleh Forum Pemuda Kaili Bangkit (FPKB) dalam Kongres Kebudayaan dan Adat Posintomu Todea (Libu Mbaso) menuai kritik dari sejumlah tokoh adat.
Tokoh Adat Besusu Kota Palu, Idrus Hadodo, menilai proses pemberian gelar tersebut tidak sah karena tidak melibatkan lembaga adat resmi.
“Tomaoge itu bukan gelar sembarangan. Gelar ini hanya bisa diberikan oleh Dewan Majelis Wali Adat Ngata Patanggota atau Pitunggota, bukan oleh organisasi non-lembaga adat,” kata Idrus saat ditemui Radar Sulteng, Minggu (17/7/2025).
Idrus mengingatkan, satu-satunya tokoh yang pernah sah menerima gelar Tomaoge adalah Longki Djanggola pada 2011, yang dikukuhkan sebagai Tomaoge Nungata Kaili dalam prosesi adat di Banua Oge Kampung Lere.
“Sampai hari ini, belum ada lagi yang dikukuhkan sebagai Tomaoge. Jadi pemberian gelar kepada Anwar Hafid itu patut dipertanyakan,” tegasnya.
Idrus juga menyesalkan lokasi acara yang digelar di hotel, bukan di tempat sakral seperti Banua Oge.
“Ini menyangkut marwah budaya Kaili. Pelaksanaan dan tempatnya juga harus sesuai kaidah adat,” ujarnya.
Kritik serupa disampaikan Wali Adat Pitunggota, Arena Parampasi yang menekankan pemberian gelar Tomaoge Tomanasa harus disaksikan oleh perwakilan Kagaua dari wilayah-wilayah adat Kaili.
“Gelar itu hanya bisa diberikan jika disaksikan oleh Kagaua Pitunggota, seperti dari Parigi, Banawa, dan Palu. Longki dulu ditetapkan secara adat karena dia anak langsung dari Madika Malolo, almarhum Dg Lando Joto Djanggola,” jelas Arena Parampasi.
Sebelumnya, Ketua FPKB, Rendir, dalam sambutannya pada Jumat (19/7/2025), menyatakan bahwa pengukuhan dilakukan atas kesepakatan internal organisasi.
“Ketika Pak Gubernur setuju menjadi bagian dari Kongres Libu Mbaso, itu menunjukkan bahwa beliau bagian dari kami. Kami anggap beliau layak dilindungi sebagai To Kaili,” kata Rendir.
Namun, Idrus menganggap prosesi itu hanya simbolik dan tidak memenuhi unsur adat.
“Kemarin itu hanya dibacakan, lalu dikasih Siga dan Guma. Tidak ada kehadiran para wali adat. Itu bukan prosesi adat yang sah,” ucapnya.
Ia mengingatkan bahwa adat memiliki aturan dan kehormatan yang harus dijaga, mengingat hal semacam ini telah dilestarikan dan dijaga secara turun temurun oleh Suku Kaili.
“Adat itu tidak bisa dipermainkan untuk kepentingan sesaat. Harus ada etika, tata krama, dan persetujuan dari lembaga adat. Kalau begini caranya, kita sedang merusak tatanan budaya sendiri, bisa kualat kita nanti.” pungkasnya.(nas)






