Bos Hotel Grand Sya Mengamuk! Tuding Pemkot Palu Diskriminasi, Ungkap Fakta Mengejutkan Soal Izin!

29
Ir. Syafrudin

PALU – Owner Hotel Grand Syah Ir Syafrudin menuding Pemkot Palu diskriminasi terkait perizinan persetujuan bangunan gedung.

Baru saja dilaunching akhir Juni lalu, Pemkot Palu akan menutup hotel yang berlokasi di jalan Samratulani, samping Gubernur Sulteng , karena belum memenuhi persyaratan bangunan gedung.

Pada saat rapat mediasi di Grand Syah, Senin (14/7), Syafrudin mengamuk kepada sejumlah pejabat Pemkot Palu dari Dinas Tata Ruang, Pol PP, Dishub, juga dari BPTD Sulteng.

Bos Syafrudin menunjukkan dokumen setebal hampir satu meter. Dokumen itu berisikan UKL UPL, andallalin, kajian likuifaksi dan dokumen lain sebagai pendukung untuk terbitnya sertifikat layak fungsi.

Namun nyatanya, pada saat rapat itu, dokumen resmi yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang Pemkot Palu itu ternyata tidak mereka gunakan.

“Ini UKL untuk apa. Sudah ada semua dokumen, sudah dihitung semua, gaya likuifaksi,” kata Syafrudin.

Kata Syafrudin, persoalan serupa juga sama pendirian gedung BRI yang menurutnya inprosedural.

“Saya bisa suruh tutup itu BRI kenapa. Mereka tidak memenuhi standar, ruang hijau tidak ada, parkir tidak ada. Mau bicara apa sekarang, bukti nyata kok. Memenuhi syarat gak BRI itu secara prosedural?” kata Syafrudin.

Sementara pihaknya pengembang hotel, merasa dipersulit dengan aturan yang padahal sudah dipenuhi. Ternyata, Dinas Tata Ruang Kota Palu berdalih soal luas bangunan yang tidak sesuai UKL UPL.

Namun kata Syafrudin, kamar hotel di bawah 200 kamar itu tidak perlu Amdal, tetapi dengan cukup UKL UPL sebagaimana dijelaskan oleh pejabat Pemkot Palu saat mengurus izin.

“Kalau dari luas gedung itu tidak terurai secara jelas, luas bangunan atau semuanya,” kata Syafrudin.

Menurutnya, pengusaha itu diberikan kelonggaran investasi sama halnya dengan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) diringankan pajaknya, dan dimudahkan perizinannya.

Namun yang terjadi justru untuk berinvestasi mendirikan hotel nyatanya masih dipersulit, padahal dia sebagai putra daerah yang ingin melihat wajah kota semakin indah.

Syafrudin mengungkapkan kekecewaannya terhadap sikap Pemkot Palu yang dianggapnya tidak memberikan ruang tumbuh bagi pelaku usaha lokal.

Ia mengaku telah berjuang selama delapan tahun membangun Hotel Grand Syah, bahkan sejak sebelum bencana gempa 2018.

Namun hingga kini, perizinan gedung yang sudah rampung itu tetap belum difasilitasi dengan baik oleh pemerintah kota.

“Ini sudah 8 tahun saya urus, sebelum gempa. Tidak ada hati sama sekali ini kota. Kita mau asuransikan ini gedung tapi tidak mendapatkan tanggapan,” katanya.

Meski kecewa, Syafrudin menegaskan bahwa cintanya pada Kota Palu tetap besar.

“Saya masih cinta ini kota Palu. Saya bangun ini gedung. Putra daerah membangun di tengah kota begini megah. Orang bisa bangga datang berkunjung ke Palu, ada hotel mewah,” tegasnya.

Menurutnya, membangun hotel itu tidak ada untungnya dibanding bisnis lain, kalau bukan putra daerah yang mau peduli, ada hotel berkelas di samping kantor Gubernur dan DPRD.

“Saya bukan cari duit ini. Saya mau cari duit ngapain di sini? Saya kembangkan usaha saya. Mencari duit di hotel bagi pengusaha itu tidak ada artinya,” katanya.

“Bisnis kapal, besok saya menghasilkan. Tapi bangun hotel ini sudah 7 tahun tidak menghasilkan,” sambungnya.

Ia menyayangkan tidak adanya kebijakan yang memberikan kelonggaran dan perlindungan kepada investor lokal.

“Tidak ada toleransi sama sekali, hanya soal luasan begini-begini. Tidak ada bantuan, padahal di situ kamu dapat retribusi. Tidak boleh begini. Beri keleluasaan pengusaha, beri ketenangan,” tegas Syafrudin. (bar)

Tinggalkan Komentar