back to top
Rabu, 30 Juli 2025
BerandaDAERAHBanggai Darurat Lingkungan! Hilirisasi Nikel Rusak Desa Siuna, Warga...

Banggai Darurat Lingkungan! Hilirisasi Nikel Rusak Desa Siuna, Warga Sengsara

BANGGAI Hilirisasi keberadaan aktivitas pertambangan nikel di Desa Siuna Kec. Pagimana, Kab. Banggai perlu dievaluasi. Sebab, alih-alih pertambangan nikel menjadi energi terbarukan sebagai bahan baku baterai kenderaan listrik, proses produksinya tidak berkeadilan dan justru terkesan telah merusak lingkungan di Desa Siuna Kec. Pagimana Kab. Banggai.

Sejak awal, masyarakat tidak pernah dilibatkan dalam proses perencanaan dan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Ekossistem sungai dan laut sebagai sumber mata pencaharian mereka juga rusak karena sistem pengolahan limbah yang tidak sesuai.

“Kurangnya transparansi dan keterbukaan informasi dari pihak perusahaan dan pemerintah, sehingga semakin memperburuk keadaan. Bahkan selama ini, terkesan tidak pernah ada evaluasi. Jika terjadi pelanggaran, tidak pernah diberi sanksi tegas, sehingga ada efek jera bagi pelaku usaha. Hal ini yang semestinya dipertegas oleh pemerintah, baik tingkat pusat sampai di daerah,” tandas Supardi Enete, mantan Kades Siuna, kepada Radar Sulteng di Siuna, baru-baru ini.

Desa Siuna, kini menjadi sasaran empuk sejumlah perusahaan tambang nikel. Keluhan masyarakat datang silih berganti, akibat kerusakan lingkungan yang sangat berdampak pada masyarakat, disebabkan oleh aktivitas sejumlah perusahaan tambang nikel yang beroperasi. Masyarakat yang tinggal di Siuna selah sejak lama menggantungkan hidupnya pada sumber daya alam sebagai nelayan tradisional dan petani.

Pantauan Radar Sulteng, dilokasi aktivitas sejumlah perusahaan tambang nikel di Desa Siuna, selain terindikasi telah merusak lingkungan, pembabatan hutan mangrove pun terus berlanjut. Hal itu dilakukan untuk kepentingan pembangunan jetty dan penampungan ore nikel (stocpile).

Kondisi ini, telah mendokumentasikan bagaimana keberadaan hutan di Desa Siuna akibat aktivitas perusahaan tambang nikel, akuisisi lahan pertanian, degradasi sumber air bersih dan kerusakan sumber perikanan telah mempersulit, jika bukan membuat mustahil, masyarakat diwilayah itu untuk terus menjalani cara hidup tradisional mereka.

Pada dasarnya, pertambangan nikel telah mengancam hak masyararakat lokal atas air bersih, ketika imbas dari aktivitas perusahaan dan deforestasi mencemari sungai-sungai tempat warga menggantungkan hidup mereka. Warga juga khawatir atas meningkatnya bencana banjir yang diakibatkan oleh penggundulan hutan oleh perusahaan tambang nikel. Begitupun rusaknya lahan pertanian dan perkebunan milik warga.

Dalam menindaklanjuti aduan warga, Ketua DPRD Banggai, H. Syarifudin Tjatjo, melayangkan surat yang ditujukan kepada 6 (enam) perusahaan tambang nikel, di Siuna, masing-maing, PT. Penta Dharma Karsa, PT. Prima Dharma Karsa, PT. Prima Bangun Persada Nusantara, PT. Integra Mining Nusantara Indonesia, PT. Anugerah Bangun Makmur dan PT. Bumi Persada Surya Pratama (BPSP).

Dalam suratnya tertanggal 21 Juli 2025, perihal undangan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dan mediasi melalui Komisi II DPRD Banggai, mendarsari surat aduan warga, 8 Juli 2025, terkait aktivitas tambang nikel yang kian meluas oleh perusahaan yang berinvestasi di Desa Siuna, Kec. Pagimana, yang telah mengakibatkan banjir, rusaknya lahan persawahan, abrasi yang mengancam pemukiman dipesisir pantai dan belum kunjung direalisasikannya program reklamasi dan reboisasi di wilayah tersebut.

Komisi II DPRD Banggai dibawah pimpinan Ketua Komisi Irwanto Kulap bersama tim dari instansi terkait sebelumnya telah melakukan peninjauan lokasi pada areal pertambangan nikel. Selain laporan warga terkait imbas dari aktivitas tambang nikel, tim juga menemukan adanya pembabatan hutan mangrove. RDP Kadis Lingkungan Hidup, Yudi Amisudin, mengungkap bahwa dari 15 ha lahan mangrove, ada sekitar 7,6 ha lahan mangrove yang babat oleh PT. BPSP.

Ketua DPRD dan Ketua Komisi II DPRD Banggai, yang dikonfirmasi Radar Sulteng, Sabtu (26/7), melalui no ponselnya, terkait hasil RDP, tindak lanjut seperti apa, belum memberikan keterangan resmi, langkah-langkah dan upaya dalam penyelesaian terhadap permasalahan ke enam perusahaan tambang dimaksud.

Menanggapi hal itu, salah seorang utusan dari PT. BPSP mengaku bahwa lahan mangrove itu merupakan lahan Areal Penggunaan Lain (APL). Lahannya sudah dibebaskan. Namun, pihak perusahaan tidak memperlihatkan dokumen resmi pembebasan lahan mangrove yang dimaksud, dalam kepentingannya untuk pelabuhan jetty dan stocpile. Bahkan pihaknya mengakui telah menanam puluhan ribu pohon mangrove atas rekomendasi Dinas Lingkungan Hidup Banggai di Desa Tikupon Kec. Buelemo, yang diduga bukan wilayah IUP operasional PT. BPSP.

Sementara itu, Kepala Teknik Tambang (KTT) PT. BPSP, Louis, yang dikonfirmasi Radar Sulteng melalui telpon selulernya terkait dokumen izin resmi pembebasan hutan mangrove yang dibabat oleh perusahaan, belum memberikan jawaban terkait permasalahan dimaksud.

Sekedar diketahui bahwa mekanisme “pembebasan” hutan mangrove merujuk pada upaya rehabilitasi dan restorasi ekosistem mangrove yang telah rusak atau terdegradasi yang melibatkan berbagai strategi dan partisipasi pemangku kepentingan. Ini bukan tentang pembebasan lahan secara literal, akan tetapi pemulihan fungsi ekologis dan ekosistemnya.

Upaya mengembalikan fungsi hutan mangrove melalui penanaman pohon mangrove diarea yang telah dirusak atau terdegradasi. Ini merupakan inti dari pemulihan kembali mangrove.

Tantangan dalam pemulihan, meskipun ada mekanisme yang jelas, beberapa tantangan dalam rehabilitasi mangrove meliputi lokasi tanam yang belum sepenuhnya “clean and clear”, gelombang tinggi, hama, tumpukan sampah laut, minimnya pemeliharaan, regulasi pasca rehabilitasi yang belum optimal dan lemahnya koordinasi antar pihak.

Sebaiknya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, bak pusat dan Propinsi sepatutnya melakukan penilaian, pemantauan dan penyelidkan umum terhadap indikasi pencemaran lingkungan dan membuat temuan-temuan dari investigasi tersebut tersedia untuk untuk publik dan bisa diakses.

Begitupun juga Kementrian Agraria dan Tata Ruang seharusnya segera memastikan bahwa aktivitas perusahaan tambang nikel di Desa Siuna dan sekitarnya menghormati hak-hak masyarakat lokal. Kita butuh investasi, tapi jangan diakali investor. (MT)

BERITA TERKAIT >

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

BERITA TERKINI >

TERPOPULER >