Siti Fatimah dkk, Cerita Penyintas di Huntara yang Terancam Digusur
Di antara hiruk pikuk Kota Palu yang mulai bangkit pasca-tsunami 2018, tersembunyi kisah-kisah pilu para penyintas yang masih berjuang untuk menata kembali kehidupan. Di hunian sementara (huntara), harapan akan hunian tetap terus membara, meski kepastian tak kunjung tiba.
Laporan : ZAHRA NURIZKA BAMBANG
Siti Fatimah, 28 tahun, adalah salah satunya. Hampir delapan tahun tinggal di huntara, Fatimah masih menyimpan trauma mendalam akibat tsunami yang merenggut orang tua dan kedua anaknya.
”Anakku dibawa tsunami sama mamaku, papa tiriku,” ujarnya dengan suara lirih.
Surat-surat tanah yang menjadi alas haknya ikut hilang diterjang gelombang, menyisakan fotokopi yang tak berdaya. Keinginan untuk membangun kembali rumah di bekas tanahnya di pinggir pantai Talise, kini menjadi zona merah, terbentur larangan pemerintah.
”Saya sudah capek dipimpong kesana kemari,” keluhnya.
Elni, 36 tahun, ibu tiga anak yang merantau ke Palu sejak SMA, juga merasakan getirnya kehidupan di huntara. Dulu, ia mencari nafkah dengan memulung botol bekas, namun kini beralih menjadi pekerja tambang di Poboya.
”Setelah anak-anak sekolah, saya berangkat ke tambang,” tuturnya.
Surat hibah atas tanah yang dulu ia tempati tak bisa menjadi pengganti sertifikat karena pemberi hibah telah wafat. Ancaman penggusuran huntara menghantuinya, namun Elni tak ingin berpisah dari sesama penyintas yang telah menjadi keluarga. Secercah harapan muncul ketika ia dan beberapa warga huntara mendaftar di koperasi, berjaga-jaga jika penggusuran benar terjadi.
Asnila, 53 tahun, seorang ibu tunggal dengan sembilan anak dan empat cucu, juga menggantungkan hidupnya di huntara. Empat anaknya telah meninggal dunia, salah satunya di huntara karena sakit. Asnila kini mencari botol bekas atau bekerja serabutan untuk menafkahi seorang anak dan beberapa cucunya. Dulu, ia berjualan garam, namun modalnya habis karena sering dicuri.
”Saya sudah tidak kuat lagi pergi ke tambang,” ujarnya.
Asnila tak memiliki surat tanah atas rumahnya dulu karena hanya membeli dari keluarga tanpa sempat membuat sertifikat. Hidup pas-pasan membuat Asnila berharap pemerintah segera memberikan hunian tetap bagi mereka, para penyintas tsunami 2018.
Kisah Siti Fatimah, Elni, dan Asnila adalah potret perjuangan para penyintas tsunami Palu yang masih bertahan di huntara. Mereka adalah saksi bisu dahsyatnya bencana dan lambannya penanganan pasca-bencana. Di tengah ketidakpastian akan hunian tetap, mereka terus berharap dan berjuang, demi masa depan yang lebih baik. (*)






