Kabar68.Banggai – Salah satu perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan nikel yang akan melakukan kegiatan di lokasi Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT. Pantas Indomining, di Kelurahan Pakowa, Kecamatan Pagimana, mendapat reaksi keras dari sejumlah elemen masyarakat. Pasalnya, kehadiran perusahaan tersebut dinilai belum jelas di tengah masyarakat dan tanpa sosialisasi, diam-diam telah memasukkan alat berat ekskavator ke lokasi IUP.
Tunjukkan Legalitas Izin, Sebelum Melakukan Aktivitas
“Anehnya, nama perusahaan yang masuk terkesan ditutup-tutupi dan dirahasiakan. Namun, berkembang informasi di wilayah Kecamatan Pagimana, nama perusahaan tersebut adalah PT. Fajar Bhakti Lintas Nusantara,” ujar sumber Radar Sulteng di Pagimana.
Informasi yang dihimpun Radar Sulteng menyebutkan, keberadaan PT. Pantas Indomining selaku pemegang IUP di Kelurahan Pakowa dengan mengantongi IUP Produksi sejak 29 Oktober 2012 hingga saat ini, sudah kurang lebih 12 tahun tidak menunjukkan aktivitas pertambangan. Bahkan selama ini tidak pernah ada komunikasi dengan masyarakat terkait keberadaan perusahaan tersebut—entah ke mana rimbanya.
Namun belakangan, pada November 2025, masyarakat dikejutkan dengan kehadiran PT. Fajar Bhakti yang tiba-tiba diarahkan ke lokasi IUP PT. Pantas Indomining dengan satu unit alat berat ekskavator. Diduga akibat ulah oknum aktor intelektual yang menunggangi kepentingan perusahaan, alat tersebut dipaksakan masuk ke lokasi IUP untuk beraktivitas. Meski demikian, hingga kini belum ada aktivitas penggalian ore nikel.
“Kami tidak menghalangi investasi, tetapi kami tidak mau diakali investor. Kami butuh kejelasan dulu dari kedua perusahaan tersebut, PT. Pantas Indomining dan PT. Fajar Bhakti. Sebaiknya pihak perusahaan terlebih dahulu melakukan sosialisasi, bukan langsung masuk melakukan kegiatan pertambangan. Dalam sosialisasi itu, perusahaan wajib menunjukkan kelengkapan dokumen perizinan sesuai ketentuan Undang-Undang Minerba. Bila memang sudah dilakukan take over, maka penanggung jawab PT. Pantas Indomining dan PT. Fajar Bhakti wajib hadir di tengah masyarakat Pakowa-Lamo untuk memperjelas aktivitasnya, karena imbas dari kegiatan tambang ini akan bertumpu pada kedua wilayah tersebut,” pinta sejumlah warga kepada Radar Sulteng, baru-baru ini di lokasi IUP Indomining.
Sejumlah warga Pakowa-Lamo yang berada di Kota Luwuk juga telah menjadwalkan rencana untuk melakukan “hearing” atau dengar pendapat di kantor DPRD Banggai, dengan menghadirkan pemilik IUP PT. Pantas Indomining dan kontraktor pelaksananya PT. Fajar Bhakti, terkait rencana aktivitas perusahaan tersebut.
Masyarakat meminta agar aktivitas perusahaan di lokasi IUP dihentikan sementara sebelum menunjukkan seluruh dokumen perizinan, seperti izin jetty dan terminal khusus (Tersus), RKAB, izin jalan lintas provinsi, surat dari Kementerian ESDM jika memang telah terjadi take over IUP, dan lainnya sesuai amanat Undang-Undang Minerba. Langkah ini dinilai penting agar tidak menimbulkan keresahan dan gejolak di tengah masyarakat.
Terkait Take Over IUP
Sementara itu, salah seorang aktivis pemerhati tambang di Sulteng, Asrudin Rongka, mengatakan bahwa take over atau pengambilalihan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang umumnya dilakukan melalui akuisisi saham perusahaan pemilik IUP, menawarkan beberapa manfaat strategis, terutama dalam hal ekspansi bisnis dan efisiensi operasional.

Menurutnya, ekspansi tersebut mencakup efisiensi waktu dan biaya. Mengakuisisi perusahaan dengan IUP yang sudah ada sering kali lebih cepat dan efisien dibandingkan mengajukan IUP baru yang memerlukan studi kelayakan, AMDAL, dan proses perizinan yang panjang.
Yang tak kalah penting, kata Asrudin, adalah kepastian hukum. Mengambil alih IUP yang sah tidak semudah membalikkan telapak tangan. Perusahaan harus memiliki dasar hukum yang kuat untuk melakukan kegiatan penambangan di wilayah tersebut, dan proses pengambilalihan IUP harus sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk persetujuan dari menteri terkait perubahan kepemilikan saham.
“Penting dipahami bahwa proses pengalihan IUP ini diatur ketat dalam hukum pertambangan, yaitu UU No. 4 Tahun 2009 dan perubahannya dalam UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba. Regulasi tersebut melarang pengalihan IUP secara langsung, namun mengizinkan perubahan kepemilikan melalui mekanisme akuisisi saham perusahaan pemilik IUP dengan persetujuan pemerintah,” jelasnya.
Dalam proses pengambilalihan (akuisisi atau take over) IUP nikel, tanggung jawab atas kelengkapan dokumen perizinan berada pada kedua belah pihak, baik pihak yang mengalihkan (penjual) maupun pihak penerima (pembeli) IUP. Namun, pemegang IUP saat ini tetap memiliki tanggung jawab utama untuk memastikan kepatuhan terhadap regulasi sebelum dan selama proses pengalihan. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian ESDM, juga berperan dalam persetujuan dan pengawasan.
“Status dan kepemilikan IUP tambang akan berubah ketika terjadi take over atau pengalihan. Proses ini harus mendapatkan persetujuan Menteri ESDM dan dilakukan melalui mekanisme akuisisi perusahaan, bukan pengalihan langsung IUP-nya,” tegas Asrudin, aktivis investigasi yang telah lama berkecimpung di dunia pertambangan nikel Sulteng.
Menurutnya, dalam persyaratan kepemilikan, perusahaan yang baru harus memiliki minimal 15% saham pada perusahaan pemegang IUP lama. Artinya, pengalihan langsung tidak diperbolehkan. IUP tidak dapat dialihkan kepada pihak lain tanpa melalui mekanisme hukum yang sah, seperti pengalihan saham perusahaan.
“Konsekuensi hukumnya, jika pengalihan IUP PT. Pantas Indomining dilakukan tanpa persetujuan Menteri ESDM, maka dianggap ilegal dan dapat dikenakan sanksi hukum. Karena IUP merupakan bagian dari aset perusahaan, maka pengalihan aset hanya dapat terjadi melalui akuisisi saham perusahaan pemegang IUP tersebut,” ujarnya.
Dampak Negatif Take Over IUP
Take over Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel juga dapat membawa dampak negatif bagi masyarakat lingkar tambang, tergantung bagaimana proses tersebut dikelola dan diawasi.
Dampak negatif yang umum terjadi antara lain degradasi lingkungan, di mana penambangan yang tidak berkelanjutan dapat menyebabkan kerusakan parah seperti polusi air dan udara, kerusakan hutan, hilangnya keanekaragaman hayati, serta meningkatnya risiko bencana alam seperti longsor dan banjir.
“Masuknya tenaga kerja dari luar daerah juga dapat menimbulkan ketegangan sosial atau konflik dengan masyarakat lokal. Perubahan norma dan perilaku sosial pun bisa terjadi,” jelas Asrudin.
Selain itu, gangguan mata pencaharian tradisional juga kerap muncul. Masyarakat yang sebelumnya bergantung pada pertanian, perikanan, atau sumber daya alam lainnya sering kehilangan mata pencaharian akibat kerusakan lingkungan atau perubahan tata guna lahan.
Masalah kesehatan pun menjadi perhatian. Polusi dari aktivitas tambang nikel dapat menimbulkan risiko bagi kesehatan masyarakat sekitar. Selain itu, sering muncul ketimpangan ekonomi, di mana hanya sebagian kecil masyarakat yang menikmati keuntungan ekonomi secara signifikan.
“Intinya, potensi kerugian lingkungan dan sosialnya sangat besar. Keuntungan bagi masyarakat lingkar tambang sangat bergantung pada pengawasan pemerintah yang ketat, kebijakan perusahaan yang bertanggung jawab, serta keterlibatan aktif masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan dan pengawasan dampak lingkungan maupun sosial,” pungkas Asrudin. (MT)






