back to top
Minggu, 14 Desember 2025
BerandaPALUMasyarakat Adat Poboya Desak Penciutan Lahan Kontrak Karya PT...

Masyarakat Adat Poboya Desak Penciutan Lahan Kontrak Karya PT CPM

Kabar68.PALU — Desakan penciutan lahan kontrak karya PT Citra Palu Minerals (PT CPM) kembali menguat. Masyarakat adat Poboya, lembaga adat, serta warga lingkar tambang menegaskan bahwa tuntutan mereka bukan hanya soal lapangan kerja, tetapi menyangkut sejarah, kultur, hingga keberlangsungan hidup Masyarakat Adat Tara (salah satu sub etnis Kaili).

Kusnadi Paputungan, tokoh masyarakat Poboya, pada Kamis (11/12/2025) menegaskan bahwa wilayah yang dituntut untuk diciutkan, khususnya Pegunungan Vunga, memiliki nilai historis yang tidak bisa dipisahkan dari identitas masyarakat adat.

“Dalam peradabannya, para nenek moyang orang Poboya tinggal di gunung yang saat ini ditambang secara tradisional, termasuk kawasan yang masuk kontrak karya,” ujarnya.

Menurut Kusnadi, masyarakat Poboya meyakini bahwa pengelolaan sumber daya alam harus dilakukan secara bijaksana dan selaras dengan kearifan lokal. Ia menambahkan bahwa hingga kini, ritual-ritual adat masih dilakukan di kawasan tambang sebagai bentuk penghormatan terhadap Sang Pencipta dan perlindungan terhadap para penambang tradisional.

“Ini bukan hanya soal kerja. Ini tentang bagaimana leluhur kami mengajarkan cara menjaga alam tanpa merusaknya,” katanya.

Dari sisi sosial, Kusnadi menekankan bahwa lahan yang dituntut untuk diciutkan telah menjadi ruang perekat antarwarga baik masyarakat Poboya, penambang dari lingkar tambang, maupun pendatang dari berbagai daerah.

“Di sana mereka beradu nasib dan merasakan hal yang sama sebagai rakyat yang harus bekerja keras karena negara belum mampu memberi lapangan kerja yang layak,” jelasnya.

Ia menegaskan bahwa masyarakat Poboya mempertahankan tanah itu sebagai warisan yang harus diteruskan kepada generasi berikutnya.

“Jika tidak terjadi penciutan, maka tamatlah riwayat Poboya di tanah leluhur mereka. Anak cucu kita akan mengutuk kami meski kami sudah terkubur, karena yang dijaga dan diperjuangkan dilepas begitu saja,” tegas Kusnadi.

Kekhawatiran masyarakat kian besar karena konsep kerja sama yang ditawarkan perusahaan dinilai tidak memberi ruang bagi penambang tradisional.

“Kedepan pasti akan tercipta pengangguran di Poboya dan lingkar tambang, karena konsep CPM sama sekali tidak menjamin keberadaan penambang tradisional yang memakai alat seadanya,” ucapnya.

Kusnadi juga menilai PT CPM hanya melihat Poboya dari sisi ekonomi, tanpa mempertimbangkan aspek historis, kultural, sosiologis, hingga filosofis masyarakat adat.

“Makanya wajar kalau mereka berlaku diskriminatif. Di kepala mereka hanya urusan kapital untuk meraih keuntungan berlipat ganda,” katanya.

Ia bahkan menyatakan kesiapannya berdebat secara terbuka dengan jajaran petinggi BRMS dan CPM.

“Saya siap berdebat dengan legal direktur BRMS Sulthon Muhammad, Charles selaku Direktur Keuangan BRMS, dan Sudarto sebagai konsultan senior CPM. Kalau perlu forum debatnya dilakukan di Poboya agar masyarakat bisa menilai argumen siapa yang paling logis, realistis, dan berpihak pada rakyat,” tantangnya.

Kusnadi mengingatkan bahwa penciutan lahan merupakan bagian dari tuntutan keadilan sosial dalam penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam.

“Tanpa penciutan dan tanpa ruang bagi wilayah pertambangan rakyat, keadilan atas sumber daya alam di Poboya mustahil terwujud,” tutupnya.

Sebelumnya, Gubernur Sulawesi Tengah pernah meminta CPM agar memberikan sebagian kecil lahan tambang untuk dimanfaatkan masyarakat sekitar sebagai sumber mata pencaharian.

‎‎Usulannya tersebut disampaikan saat gubernur melakukan peninjauan di CPM pada (15/10/2025) lalu. Hal ini ia sampaikan sebagai bentuk perhatian pemerintah daerah terhadap masyarakat lingkar tambang.

‎‎“Pada kesempatan yang sama saya juga menyampaikan usulan agar warga sekitar bisa mendapatkan sebagian kecil lahan dari PT CPM ini untuk mata pencaharian mereka. InshaAllah usulan ini membuahkan hasil positif agar kehidupan masyarakat kita bisa lebih sejahtera,” ujar Gubernur saat itu.

‎‎“PETI bukan hanya melanggar hukum, tapi juga seringkali membawa dampak sosial dan lingkungan yang merugikan masyarakat,” tambah Gubernur Anwar Hafid. (NAS).

 

BERITA TERKAIT >

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

BERITA TERKINI >

Warga Desak Aktivitas PETI di Tombi Ampibabo Dihentikan

0
Kabar68.PARIMO — Perwakilan warga Desa Tombi, Kecamatan Ampibabo, mendatangi kantor DPRD Parigi Moutong (Parimo) pada Kamis (11/12/2025) untuk mendesak penghentian aktivitas Pertambangan Tanpa Izin...

TERPOPULER >