Tulisan oleh : Moh. Ahlis Djirimu
Batalnya Nvidia menanamkan modalnya di Solo tahun ini menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia. Bagi Indonesia, membenahi faktor domestik yang masih bergulat dengan birokrasi rumit, tingginya biaya produksi, ketidakpastian kebijakan yang mengganggu kepercayaan investor merupakan pekerjaaan rumah yang harus diselesaikan. Fenomena perusahaan multinasional seperti LEGO Group, Nvidia, Apple lebih memilih Vietnam sebagai lokasi investasi telah meninggalkan Indonesia yang sebelumnya dianggap sebagai tujuan utama di Asia Tenggara patut direnungkan. Vietnam merupakan negara yang Panjang garis pantainya mencapai 3.300 km dari wilayah utara Cao bang ke Con Dao menghasilkan devisa mencapai lebih USD5,- miliar dari industri agromaritim. Sedangkan, Sulteng mempunyai panjang pantai mencapai 6.600 km hanya menghasilkan kurang dari USD2,5,- juta.
Pilar utama keberhasilan Vietnam pertama adalah biaya tenaga kerja yang kompetitif, kemudahan regulasi, infrastruktur memadai, dan upaya pemberantasan korupsi konsisten menjadi daya tarik negara ini, sehingga laju pertumbuhan ekonominya mencapai 7,09 persen pada 2024, bandingkan dengan Indonesia yang stagnan pada 5 persen. Rasio Investasi Asing Langsung (FDI) terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di Vietnam mencapai rata-rata 4,59 persen pada periode 2010-2023 jauh di atas Indonesia yang hanya mencapai 1,94 persen. Investasi asing dari LEGO Group sebesar USD1,- miliar di Binh Duong misalnya fokus pada industri bernilai tambah tinggi seperti elektronik, Artifical Intelligent (AI) dan energi terbarukan merupakan investasi yang memadukan teknologi ramah lingkungan dan penciptaan lapangan kerja skala besar. Sebaliknya, FDI di Indonesia, termasuk di Sulteng masih didominasi oleh Sektor Ekstraksi dan Manufaktur konvensional yang rentan terhadap fluktuasi harga komoditi.
Kedua, Bank Dunia melaporkan dalam Business Ready mengungkap bahwa pendirian perusahaan di Vietnam hanya membutuhkan 66 hari dengan biaya rendah, menerapkan single-window perizinan investasi dan mengurangi ketimpangan tumpang tindih antara Pemerintah Pusat dan daerah. Batalnya Nvidia berinvestasi di Solo akibat lambat proses perizinan dan ketidakjelasan insentif pajak seharusnya menjadi pelajaran bagi kita. Vietnam memberikan kebijakan fiskal dan insentif menarik seperti paket Pajak Penghasilan Badan hingga 10 persen bagi proyek berteknologi tinggi, sebaliknya Indonesia masih berkutat dengan ketidakpastian regulasi dan birokrasi.
Ketiga, infrastruktur dan logistik menjadi daya tarik utama di Vietnam karena Pemerintah negara ini mengalokasikan 6-7 persen APBNnya bagi pembangunan infrastruktur yang menghasilkan tol sepanjang 1.200 km dan pelabuhan laut dalam Cai Mep yang mampu menampung Giant Vessel berkapasitas 200 ribu DWT. Efisiensi logistik ini tercemin dari biaya ekspor di Vietnam hanya seperlima biaya di Indonesia. Sebaliknya, keterbatasan infrastruktur di luar Jawa menyebabkan biaya logistik Indonesia mencapai 23,5 persen dari PDB tertinggi di ASEAN. Adanya pembangunan Pusat Riset Artificial Intelligent (AI) oleh Nvidia di Vietnam menunjukkan kesiapan infrastruktur digital. Negara ini telah membangun 5000 BTS 5G pada 2024, sedangkan Indonesia pernah terhambat lelang frekwensi dan kesiapan jaringan fiber optik. Di Indonesia, masih ada 13.577 desa dari 74.955 desa blank spot. Di Sulteng, masih ada 686 desa dari 1.842 desa atau 36 persen yang masih blank spot.
Keempat, walaupun Upah Minimum di Vietnam sekitar USD190,- per bulan atau sepertiga lebih rendah dari Indonesia, tetapi Produktivitas TK Vietnam tumbuh 5,2 persen per tahun berkat Program Pelatihan Vokasi yang terintegrasi dengan Industri. Indeks IMD World Talent Ranking 2024 menempatkan Vietnam di peringkat 40, sedangkan Indonesia di posisi 62. Ini menunjukkan bahwa ketrampilan digital menjadi titik kelemahan Indonesia, karena hanya 12 persen lulusan STEM memenuhi standar industri.
Kelima, Mobilitas dan Daya Saing Global. Vietnam memberlakukan Golden Visa Policy untuk menarik talenta asing di sektor teknologi, sebaliknya, Indonesia memberlakukan pembatasan rumit atas izin TK ahli asing. Hasilnya, 65 persen manajer perusahaan multinasional adalah ekspatriat. Sebaliknya, hanya 35 persen di Indonesia.
Keenam, lingkungan politik, Hukum, stabilitas kebijakan sangat menentukan. Kampanye antikorupsi sejak 2013 di Vietnam telah menuntut 14 ribu kasus dan 22.600 terdakwa, termasuk para petinggi partai. Efek jera ini meningkatkan kepercayaan investor yang tercemin dari kenaikan 15 persen FDI pasca kampanye antikorupsi. Sebaliknya, revisi UU KPK telah menurunkan Indeks Persepsi Korupsi dari 40 poin ke 34 poin dalam tiga tahun terakhir.
Daya saing Indonesia menempati posisi ke 40 di bawah Singapura berada pada posisi ke 2 dengan Indeks Daya saing sebesar 99,4 poin, Malaysia berada di posisi ke 23 dengan Indeks Daya Saing sebesar 74,8 poin, Thailand menempati posisi ke 30 dengan Indeks Daya Saing 71,3 poin, serta Indonesia berada di bawahnya posisi 40 dengan Indeks Daya Saing 64,3 poin.
Upaya yang dilakukan oleh Indonesia keluar dari Middle Income Trap dengan cara mendeteksi penyebabnya yakni Demografi yang tidak suportif, Pasar Tenaga kerja tidak efisien, Institusi lemah, Pasar Keuangan tidak efisien, Diversifikasi produk yang rendah, Rendahnya inovasi. Strategi yang dilakukan berbasis pada Pembangunan manusia, Pembangunan infrastruktur, Penyederhanaan birokrasi, Penyederhanaan Regulasi, Transformasi ekonomi. **
—
Guru Besar Bidang Ekonomi Internasional FEB-Untad






