Kabar68.Banggai – Ratusan warga Desa Masing, Kecamatan Batui, Kabupaten Banggai, kembali turun ke jalan, Minggu (9/11/2025), menuntut keadilan atas dugaan perampasan lahan oleh PT Sawindo Cemerlang. Aksi yang berlangsung sejak pagi itu berujung pada pendudukan dan boikot terhadap kantor perusahaan.
Massa membawa berbagai spanduk bertuliskan tuntutan agar perusahaan sawit tersebut segera mengembalikan lahan milik masyarakat yang telah dikuasai secara sepihak. Mereka juga menentang praktik kriminalisasi terhadap warga yang selama ini memperjuangkan hak atas tanah.
“Kami sudah cukup bersabar. Tanah ini bukan milik perusahaan, tanah ini milik rakyat yang hidup dan mati di atasnya. Kalau negara tidak hadir, maka rakyat akan bertindak sendiri!” teriak salah satu petani di depan gerbang kantor PT Sawindo Cemerlang.
Koordinator aksi menegaskan, perjuangan warga Masing bukan sekadar soal tanah, melainkan juga menyangkut martabat dan keberlanjutan hidup masyarakat. Ia menuding PT Sawindo menyerobot lahan tanpa dasar hukum dan tanpa persetujuan pemilik sah, meski warga memiliki Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) dan sertifikat resmi.
“Kami punya bukti kepemilikan tanah yang sah. Tapi justru masyarakat yang dilaporkan ke polisi. Ini bentuk ketidakadilan yang nyata,” ujar salah satu tokoh masyarakat Masing.
Merespon ini, tokoh pemuda Batui sekaligus pendiri Ruang Setara (Rasera) Project, Aulia Hakim, menilai keresahan warga Masing merupakan akumulasi dari kelalaian pemerintah daerah. Ia mendesak Bupati Banggai, Amirudin, untuk tidak berdiam diri menghadapi konflik agraria yang terus memburuk.
“Pemerintah daerah tidak bisa terus menutup mata. Bupati harus tegas menghentikan aktivitas PT Sawindo dan segera mengevaluasi izin perusahaannya. Kalau perlu, izin itu dicabut karena sudah terlalu banyak melahirkan konflik,” tegas Aulia.
Berdasarkan pernyataan Aulia, sejak 2009–2010 PT Sawindo Cemerlang telah menggusur lahan petani secara paksa. Pada 2017, perusahaan disebut memaksa petani menandatangani Surat Perjanjian Kerja Sama (SPK) dan Surat Pengakuan Hutang (SPHu), namun warga menolak karena sistem yang merugikan. Mereka yang bertahan di lahannya justru dilaporkan ke Polsek Batui dengan tuduhan mencuri buah sawit.
Dalam periode 2015–2016, yang seharusnya menjadi masa konversi plasma mitra petani, hasil panen tandan buah segar tidak pernah dibagikan sesuai ketentuan. Hingga 2020, sebagian petani bahkan tidak menerima hasil panen sama sekali. Berbagai upaya mediasi oleh camat dan somasi hukum tidak membuahkan hasil.
Sebelumnya, pada 8 April 2025, Pemerintah Desa Masing resmi telah melayangkan somasi terhadap PT Sawindo Cemerlang. Kepala Desa Satuwo Andi Tahang menilai perusahaan telah melanggar hukum dan merampas aset milik warga serta tanah desa.
“Perusahaan ini memperlakukan rakyat seperti di masa kolonial. Mereka menggusur dan mengambil hak warga negara yang seharusnya dilindungi undang-undang,” kata Andi Tahang.
Berdasarkan pengakuan Aulia, massa menegaskan aksi boikot akan terus berlanjut sampai ada tanggapan resmi dari pemerintah daerah dan pihak perusahaan. Mereka menolak meninggalkan lokasi sebelum ada penyelesaian sengketa lahan secara adil dan terbuka.
Bagi warga Masing, aksi ini bukan sekadar protes, tetapi simbol perlawanan terhadap ketimpangan kekuasaan antara pemilik modal dan rakyat kecil.
“Perjuangan kami bukan kejahatan,” ujar salah satu warga. “Kami hanya ingin mempertahankan tanah yang sudah kami warisi turun-temurun.” (Nas/*Lis)






