back to top
Sabtu, 1 November 2025
BerandaDAERAHPARIGIBukan Agropolitan, WALHI Nilai Revisi RTRW Parimo Jadi 'Karpet...

Bukan Agropolitan, WALHI Nilai Revisi RTRW Parimo Jadi ‘Karpet Merah’ untuk Kepentingan Tambang

Kabar68.Parimo – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Tengah menyatakan darurat ekologis dan mendesak Pemerintah Kabupaten Parigi Moutong (Parimo) untuk menghentikan rencana revisi Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2020 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). WALHI menilai revisi ini sarat kepentingan tambang emas dan berpotensi mengorbankan masa depan pertanian serta ekosistem Teluk Tomini.

Ancaman Tragedi Tata Ruang dan Lumbung Pangan

Manajer Analisis dan Pendampingan Hukum WALHI Sulteng, Sandy Prasetya, mengatakan revisi RTRW yang menuju pengesahan pada 2026 adalah ancaman nyata terhadap keberlanjutan lingkungan dan ekonomi masyarakat agraris di Parimo.

“Kami melihat revisi RTRW ini berpotensi besar menjadi tragedi tata ruang. Pemerintah tampak memaksakan legalisasi pertambangan, padahal Parigi Moutong adalah lumbung pangan utama Sulawesi Tengah dan bagian dari klaster agropolitan Bolipamuso,” ujarnya pada Kamis (30/10/2025).

Konflik Hukum dan Pengkhianatan Perda LP2B

Sandy menegaskan, upaya Pemerintah Daerah Parimo untuk memasukkan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dalam revisi RTRW jelas bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Perda Nomor 1 Tahun 2023 tentang RTRW Provinsi Sulteng secara tegas melarang alih fungsi Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B) menjadi kegiatan pertambangan. Ia menilai langkah Pemda Parimo justru menciptakan konflik hukum yang dapat membuat regulasi saling meniadakan.

“Kalau Pemda tetap memaksakan memasukkan WPR ke dalam revisi RTRW, maka mereka sedang menciptakan regulasi yang cacat hukum dan saling meniadakan. Ini pengkhianatan terhadap Perda LP2B yang baru berusia empat tahun,” kata Sandy.

Ia menjelaskan bahwa Perda Nomor 2 Tahun 2021 tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) mengakui Parimo sebagai lumbung pangan utama provinsi dan menekankan pemberian insentif bagi petani yang menerapkan praktik ramah lingkungan. Karena itu, revisi RTRW yang membuka ruang pertambangan dianggap bertentangan dengan semangat perlindungan pangan.

Ancaman Polusi Terhadap Pertanian dan Teluk Tomini

Lebih jauh, WALHI memperingatkan dampak serius terhadap sistem irigasi dan ketahanan pangan, terutama di Kecamatan Tomini yang menjadi wilayah target WPR. Berdasarkan data Sistem Informasi Lahan Sawah dan Irigasi Kementerian Pertanian, luas sawah Parimo mencapai 27.501 hektare, dan sekitar 610 hektare di antaranya bergantung pada aliran Sungai Tomini dan Sungai Tilung.

“Jika bahan kimia berbahaya seperti merkuri dan sianida digunakan, air irigasi akan tercemar dan racunnya bisa masuk ke hasil panen. Ini ancaman langsung bagi kesehatan masyarakat dan masa depan pertanian Parigi Moutong,” tegasnya.

Selain merusak sektor pertanian, aktivitas tambang di hulu dinilai akan mempercepat deforestasi, erosi, dan sedimentasi yang mengancam ekosistem laut di Teluk Tomini. Limbah dan polutan logam berat dari tambang dapat menutupi terumbu karang serta padang lamun yang menjadi tempat berkembang biaknya ikan.

“Kerusakan di hulu akan bermigrasi ke pesisir dan mematikan ekosistem vital Teluk Tomini. Ini sama saja merampas ruang hidup nelayan melalui polusi yang dilegalkan,” ujar Sandy.

Belajar dari Bencana dan Tuntutan WALHI

Ia menambahkan, penolakan mayoritas masyarakat terhadap tambang seharusnya menjadi sinyal bagi pemerintah untuk tidak mengabaikan prinsip partisipasi publik. Menurutnya, proses revisi RTRW yang mengabaikan suara rakyat dan kondisi ekologis justru akan memperbesar risiko bencana.

“Kita sudah belajar dari peristiwa banjir bandang 13 Maret 2025 di Tomini Barat dan Tomini Utara. Jika tata ruang terus diubah tanpa memperhatikan daya dukung lingkungan, bencana seperti itu akan terus berulang,” ungkapnya.

WALHI menegaskan, arah pembangunan Parimo seharusnya difokuskan pada penguatan klaster agropolitan dan pariwisata bahari, bukan pada ekspansi pertambangan. Revisi RTRW, kata Sandy, mesti menjadi alat untuk memperkuat sektor pertanian dan ekonomi rakyat, bukan karpet merah bagi kepentingan korporasi tambang.

“Kami mendesak DPRD dan Pemkab Parigi Moutong untuk meninjau ulang secara total rencana revisi RTRW ini. Perda RTRW seharusnya menjadi instrumen perlindungan hak ekologis dan hak atas pangan rakyat, bukan alat legalisasi perusakan lingkungan,” tutup Sandy. (NAS/*Lis)

BERITA TERKAIT >

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

BERITA TERKINI >

Vaksinasi HPV dan Pap Smear Gratis: Upaya IDI Sulteng Tekan Kanker...

0
Kabar68.Palu - Dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun Ikatan Dokter Indonesia (IDI) ke-75 sekaligus Musyawarah Wilayah IDI Sulawesi Tengah digelar kegiatan vaksinasi HPV dan...

TERPOPULER >