Kabar68.Donggala — Di tengah derasnya arus modernisasi dan globalisasi yang menembus batas ruang serta waktu, adat masih berdiri tegak di banyak penjuru nusantara. Ia bukan sekadar peninggalan masa silam, tetapi ruh yang menghidupi tatanan sosial, mengikat setiap individu dalam harmoni kolektif yang tak lekang oleh zaman.
Kabupaten Donggala, dengan lanskap geografis dan sosial yang kaya akan keragaman suku serta budaya, menjadi cerminan nyata bahwa kemajuan tidak selalu harus menyingkirkan tradisi. Di tanah ini, kearifan lokal yang diwariskan secara turun-temurun masih menjadi penopang kehidupan sosial, menjaga keseimbangan antara manusia dan lingkungannya.
Namun, di balik kekayaan budaya itu, tantangan baru mengintai. Globalisasi dan arus informasi yang begitu deras perlahan mengikis nilai-nilai adat. Generasi muda kian terpapar budaya global, sering kali kehilangan penghargaan terhadap adat istiadat sendiri. “Kita mulai melihat degradasi nilai dan rapuhnya ikatan komunal yang dulu menjadi benteng sosial masyarakat,” ujar Ihlal Languja, S.Kom., M.AP, salah satu Kabid pemberdayaan masyarakat desa LAD dan TTG dinas Pmd kabupaten Donggala.
Menurut Ihlal, berbagai konflik sosial yang muncul belakangan menjadi cermin kerapuhan dalam mekanisme penyelesaian masalah tradisional. Kondisi ini, katanya, menuntut adanya revitalisasi lembaga adat agar kembali berfungsi optimal.
“Adat tidak boleh hanya dipandang sebagai warisan masa lalu, melainkan instrumen hidup yang relevan dengan dinamika sosial hari ini,” ujarnya.
Revitalisasi Nilai dan Fungsi Adat
Revitalisasi adat, lanjut Ihlal, bukan sekadar menghidupkan kembali upacara atau ritual seremonial. Ia adalah upaya strategis untuk menanamkan kembali prinsip-prinsip dasar adat—seperti musyawarah, mufakat, keadilan, dan kebersamaan—ke dalam denyut kehidupan masyarakat.
“Melalui penguatan lembaga adat, kita ingin menjadikannya mediator yang kredibel, fasilitator yang bijak, dan pelindung nilai-nilai kebersamaan,” kata Ihlal.
Untuk itu, Pemerintah Kabupaten Donggala kini tengah mendorong program bertajuk “BERADAT”, akronim dari Berani, Tangguh, Aman, dan Sejahtera. Program ini, menurut Ihlal, hadir sebagai jawaban atas tantangan zaman yang menuntut masyarakat tetap kokoh di tengah perubahan.
Program BERADAT bertujuan membekali pemerintah desa, tokoh adat, dan seluruh elemen masyarakat dengan pemahaman serta kemampuan dalam mengelola dan melestarikan hukum adat secara sistematis. “Kami berharap setiap desa memiliki perangkat yang cukup untuk menyelesaikan masalah internal secara mandiri, tanpa sepenuhnya bergantung pada sistem hukum formal,” jelasnya.
Ia mencontohkan, dalam hukum formal, kasus kerugian di bawah dua juta rupiah kerap sulit ditindak. Di sinilah, menurut Ihlal, hukum adat dapat berperan sebagai solusi alternatif melalui penerapan sanksi adat yang memberi efek jera, namun tetap menjunjung nilai keadilan dan kebersamaan.
Menjaga Identitas, Membangun Ketahanan Sosial
Lebih jauh, Ihlal menyebutkan bahwa mengembalikan marwah adat berarti menciptakan masyarakat yang adaptif terhadap perubahan tanpa kehilangan identitasnya. “Dengan menghidupkan kembali nilai-nilai adat, kita tidak hanya melestarikan warisan leluhur, tetapi juga membangun fondasi yang kokoh menuju desa yang aman, tangguh, mandiri, dan sejahtera,” ujarnya.
Ia juga menegaskan peran strategis lembaga adat sebagai penjaga harmoni sosial, penyelesai konflik secara damai, pendidik nilai kebersamaan, serta pelestari lingkungan berbasis kearifan lokal.
“Adat adalah jantung kebudayaan,” kata Ihlal. “Selama ia berdetak, selama itu pula masyarakat Donggala akan tetap berakar, berdiri kokoh di atas tanahnya sendiri.”(BY)






