back to top
Selasa, 7 Oktober 2025
BerandaDAERAHDari Wakatobi ke Babasal: Jalan Baru Penataan Tiga Banggai

Dari Wakatobi ke Babasal: Jalan Baru Penataan Tiga Banggai

oleh: Ridaya Laodengkowe

(Geograf, Pemerhati Kebijakan Publik, pau Banggai)

Kabar68 – Dalam tulisan kemarin, saya menyinggung kerancuan nama tiga kabupaten bersaudara: Banggai, Banggai Kepulauan, dan Banggai Laut. Keributan kecil soal Danau Paisupok hanyalah gejala dari masalah yang lebih besar: kebingungan publik, salah kaprah promosi, hingga potensi salah arah kebijakan. Kali ini, saya ingin melangkah lebih jauh—menjelaskan opsi konkret yang lebih jelas, adil, sekaligus membanggakan.

Jalur Hukum yang Ada

Perubahan nama daerah bukanlah hal mustahil. Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah membuka jalur jelas: usulan resmi dari kabupaten, rekomendasi gubernur, lalu diproses pusat, hasil akhirnya berupa Peraturan Pemerintah (PP). Prosedur ini lebih sederhana daripada pemekaran wilayah atau penataan batas.

Indonesia punya banyak preseden. Kabupaten Klungkung mengubah nama ibukotanya menjadi Semarapura (PP No. 18/1992). Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Talaud disederhanakan menjadi Kabupaten Kepulauan Sangihe (PP No. 59/2014). Kabupaten Maluku Tenggara Barat berganti menjadi Kepulauan Tanimbar (PP No. 2/2019). Kabupaten Toba Samosir pun memilih singkat saja: Kabupaten Toba (PP No. 14/2020). Bahkan, ada yang lebih dramatis: Kotamadya Ujung Pandang kembali ke Makassar (UU No. 9/1995).

Alasan yang dipakai tidak selalu rumit. Kadang hanya bersifat deskriptif, atau sekadar menegaskan identitas lokal yang lebih dikenal. Intinya: ada kebutuhan praktis yang dirasakan masyarakat.

Belajar dari Wakatobi

Salah satu contoh menarik adalah Kabupaten Wakatobi di Sulawesi Tenggara. Dibentuk lewat UU No. 29/2003, nama “Wakatobi” berasal dari akronim empat pulau: Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko. Kini Wakatobi bukan hanya nama daerah, tapi brand wisata kelas dunia, dikenal hingga jaringan UNESCO Global Geopark.

Menariknya, akronim ini bersifat geografis murni—gabungan nama pulau, bukan etnis atau identitas budaya. Namun efektivitasnya sebagai brand terbukti. Dari titik ini, kita bisa bertanya: kalau akronim geografis bisa sukses mendunia, mengapa akronim kultural tidak bisa?

Babasal sebagai Opsi Banggai Daratan

Untuk Banggai daratan, akronim Babasal (Banggai, Balantak, Saluan) menawarkan keunggulan lebih kokoh. Dalam bahasa Banggai, babasal berarti “besar”—sering dipakai dalam kosakata sehari-hari, seperti Paisu Babasal (kuala besar), Bonua Babasal (rumah besar), dan Temeneno Babasal (Tuhan Maha Besar). Ia sarat makna simbolik: rumah besar bagi semua warga Banggai daratan.

Lebih jauh, Babasal sudah lama dipakai dalam diskursus lokal, dari forum adat hingga komunitas seni generasi muda. Artinya, ia bukan istilah baru, melainkan identitas tumbuh dari bawah. Dibanding Wakatobi, ada perbedaan penting. Babasal lahir dari akronim tiga etnis utama—Banggai, Balantak, dan Saluan—dan sekaligus bermakna simbolik dalam bahasa lokal sebagai “besar” atau “rumah bersama.” Wakatobi, sebaliknya, hanya gabungan nama pulau tanpa makna simbolik tambahan.

Sumber identitas keduanya juga berbeda: Babasal bersandar pada sejarah dan kosmologi kultural masyarakat daratan, sementara Wakatobi bertumpu pada geografi kepulauan. Dari segi kesejarahan, Babasal telah lama hadir dalam wacana adat dan komunitas lokal, sementara Wakatobi baru digunakan sejak pemekaran kabupaten tahun 2003. Dalam hal branding, Babasal unik, mudah diingat, dan sarat makna budaya, sedangkan Wakatobi terbukti berhasil menembus kelas dunia karena konsistensi promosi wisata.

Dengan demikian, Babasal memiliki kelebihan sebagai simbol pemersatu etnis, sedangkan Wakatobi lebih sebagai bukti preseden bahwa akronim bisa berhasil. Kekurangan Babasal terletak pada statusnya yang belum resmi, butuh proses politik. Kekurangan Wakatobi, meski sudah mendunia, adalah keterbatasannya dalam merepresentasikan identitas etnis setempat.

BABASAL: Identitas yang Lebih Kokoh dari Wakatobi
Wakatobi membuktikan akronim bisa jadi identitas resmi sekaligus brand global. Namun Babasal sesungguhnya lebih kaya makna. Ia bukan sekadar huruf, tapi berakar pada etnis Banggai, Balantak, dan Saluan, serta simbol pemersatu. Jika Wakatobi berhasil dengan akronim geografis, mengapa Babasal tidak bisa berjaya dengan akronim kultural yang lebih dalam?

Peling dan Kepulauan Banggai

Selain Babasal, usulan mengganti nama Banggai Kepulauan menjadi Kabupaten Peling juga rasional. Hampir seluruh wilayahnya berada di Pulau Peling, dan nama ini sudah akrab dipakai dalam percakapan sehari-hari, hidup dalam memori kolektif sejarah lokal. Peling bukan sekadar label geografis, tapi penanda identitas pulau besar yang sejak dulu jadi pusat interaksi sosial, budaya, dan ekonomi.

Adapun Banggai Laut lebih cocok diubah menjadi Kabupaten Kepulauan Banggai, merepresentasikan gugus pulau sekaligus jejak historis pusat Kerajaan Banggai.

Gelombang DOB Baru

Dinamika penataan wilayah di Banggai Raya tidak berhenti pada tiga kabupaten sekarang. Belakangan muncul usulan Daerah Otonom Baru (DOB), Kabupaten Tompotika (atau Balantak), mekar dari Kabupaten Banggai (darat). Dengan rentang geografisnya, alasan pelayanan publik dan pembangunan wilayah cukup meyakinkan.

Dalam konteks itu, penataan ulang nama kabupaten yang ada bukanlah hal remeh—ia bagian dari dinamika besar otonomi daerah, tempat identitas, pelayanan, pembangunan, dan politik saling berkelindan.

Paket Tiga Banggai

Untuk menghindari kebingungan baru, sudah jelas kiranya perubahan nama sebaiknya dilakukan dalam satu paket. Opsi yang saya ajukan:

  • Kabupaten Banggai → Kabupaten Babasal
  • Kabupaten Banggai Kepulauan → Kabupaten Peling
  • Kabupaten Banggai Laut → Kabupaten Kepulauan Banggai

Dengan begitu, ketiganya tetap terhubung, namun punya identitas jelas. Salah satu kaidah dalam toponimi: identitas untuk nama wilayah memang dipilih dan dipertegas sehingga tampak eksklusif satu sama lain (mutually exclusive), tidak rancu dengan wilayah lain.

Kaidah ini berbeda dengan identitas sosial budaya yang bersifat berlapis (layered identity). Seseorang atau komunitas bisa punya lebih dari satu identitas sekaligus—etnis, agama, lokalitas, kewarganegaraan, profesi. Identitas sosial bisa tumpang tindih (overlapping), tapi tiap sub-identitas tetap bisa berekspresi.

Bahasan kita di sini jelas: identitas untuk toponimi atau penamaan wilayah.

Adil dan Rasional

Jika dilihat sebagai satu paket, perubahan nama tiga kabupaten ini sesungguhnya “adil”. Ketiganya berganti dengan opsi logis, obyektif, berbasis identitas yang lama hidup di masyarakat. Tidak ada yang diuntungkan secara politik-ekonomi, semua mendapat nama baru yang lebih tepat.

Memang benar akan muncul biaya tambahan akibat penataan toponimi ini—dari dokumen administrasi hingga papan nama—namun beban fiskal itu bersifat sementara, mungkin terasa 1–5 tahun ke depan. Biaya akan dipikul sepenanggungan oleh tiap kabupaten, dengan dukungan provinsi dan pusat, yang relatif ringan.

Penutup

Perubahan nama daerah bukan sekadar soal administrasi. Ia menyangkut identitas, kebanggaan, dan arah pembangunan. Wakatobi sudah membuktikan akronim bisa menjadi brand dunia. Babasal berpeluang lebih besar karena berakar pada sejarah dan budaya, sementara Peling dan Kepulauan Banggai menegaskan deskripsi lebih akurat.

Paisupok hanyalah pengingat kecil. Masa depan ada pada keberanian menata nama dengan bijak—agar Banggai, Bangkep, dan Balaut melangkah ke depan dengan identitas yang lebih kuat: Babasal, Peling, dan Kepulauan Banggai. Warganya tetap dan selalu bersaudara.**

 

BERITA TERKAIT >

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

BERITA TERKINI >

Wali Kota Dorong Percepatan Penyelesaian Lahan Eks HGB

0
Kabar68.Palu  – Wali Kota Palu, H. Hadianto Rasyid, S.E., menghadiri undangan syukuran dan silaturahim masyarakat Kelurahan Tondo yang digelar di ruang terbuka kelurahan pada...

TERPOPULER >