BANGGAI – Seorang aktivis pengawas korupsi di Sulteng, Asrudin Rongka, meminta Ke pala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Sulteng, untuk mengambil alih penanganan sejumlah perkara kasus korupsi yang “mandek” di Kejaksaan Negeri (Kejari) Banggai.
“Ada sejumlah kasus dugaan korupsi yang sudah bertahun-tahun penanganan kasusnya oleh penyidik di Kejaksaan Negeri Luwuk sampai dengan saat ini “mandek” dan tidak jelas. Dalam waktu dekat kami akan melayangkan surat resmi ke Kejagung dan KPK, terkait sejumlah perkara kasus dugaan korupsi yang penanganannya berlarut-larut,” tandas Asrudin kepada Radar Sulteng via telepon, Minggu (24/8).
Asrudin menilai, mandeknya penanganan sejumlah kasus dugaan korupsi tersebut, karena situasi dimana penanganan perkara kasus korupsi mengalami stagnan, dan tidak ada kemajuan.
Hal tersebut kata dia, disebabkan karena adanya keengganan pihak terkait untuk mengambil tanggungjawab penuh dalam penegakan hukum yang berujung pada lambatnya atau berlarut larutnya pencapaian keadilan hukum, apalagi sudah bertahun-tahun waktu penangannya.
Sebagai sample kata Asrudin, penanganan kasus proyek pengaman pantai di Desa Gorontalo, Kecamatan Balantak Selatan, yang dinggarkan melalui dana hibah yang bersumber dari APBN TA.2020-2021 sebesar Rp.1,3 miliar melalui instansi BPBD Banggai, telah dilakukan rekonstruksi dilokasi oleh penyidik Kejari Luwuk.
“Semua yang terkait dalam proyek sudah diperiksa termasuk kontraktornya. Bahkan penyidik Kejari Luwuk, sudah pernah melakukan penggeledahan di kantor BPBD Banggai. Penanganan perkara kasus ini sejak 2023 sampai dengan saat ini mandek, dan tak jelas juntrungnya. Ini ada apa ?,” jelas Asrudin.
Kata dia, ketidakjelasan penanganan perkara kasus dugaan korupsi tersebut, muncul karena adanya ketidakpuasan yang berdampak pada ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum khususnya Kejari Banggai. Ditambahkannya, mandeknya setiap penanganan kasus korupsi di Kejari Banggai, bisa berarti kerugian finansial negara yang terus bertambah dan tidak kunjung ada rasa keadilan hukum.
“Jika penanganan kasus korupsi terus stagnan dan diangap tidak ditangani dengan baik, lembaga lain yang berwenang, seperti KPK dapat melakukan intervensi untuk memastikan akuntabilitas dan keadilan hukum yang ada di Kejari Banggai,” jelasnya.
Menurut Asrudin, ketidakjelasan penegakan hukum dalam setiap penanganan kasus korupsi, otomatis sangat melemahkan efek jera bagi pelaku. Dimana lanjut dia, jika sanksi hukum semuanya dapat “dibeli” atau dinegosiasi dengan motif dijadikan “mesin ATM” untuk meraup keuntungan, maka efek jera yang seharusnya ada akan hilang, dan pelanggaran hukum dalam kasus “korupsi” akan terus terjadi dan semakin merajalela, karena si pelanggar hukum (pelaku-Red) yang mampu “membeli” hukum akan lolos. Kalau sudah seperti ini, mau ditaruh dimana marwah institusi penegak hukum.(MT)