PALU – Pelaku usaha kuliner yang tergabung dalam Asosiasi Pedagang Kuliner (Aspek) Sulawesi Tengah, memprotes penerapan pajak 10 persen yang diberlakukan Pemerintah Kota Palu, pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Pemerintah Kota Palu dengan Aspek Sulteng di Kantor DPRD Kota Palu, Jumat (15/8), berlangsung memanas.
Pelaku usaha menilai pemberlakuan pajak restoran dan hotel sesuai Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2023 terlalu membebani, apalagi disertai tindakan penyegelan terhadap usaha yang menunggak.
Ketua Aspek Sulteng, Bino A. Juwarno SH MKn menilai pajak 10 persen sangat tidak manusiawi kepada pelaku usaha kuliner kecil.
Ia mengungkapkan, sebelum diterapkannya pajak hotel dan restoran sebesar 10 persen, Aspek pernah menyurat ke Wali Kota Palu dan dari surat tersebut Pemkot bersama Aspek mennggelar rapat yang dipimpin Wali Kota saat itu dr Reny Lamadjido dengan dihadiri Kajari, ketua Pengadilan negeri serta Forkopimda.
Rapat tersebut menyepakati pajak tidak dikenakan penuh 10 persen bagi pelaku usaha kuliner skala kecil.
“Namun sampai sekarang tidak ada keputusan resmi, malah ada usaha disegel dan diberi SP1 hingga SP2. Hati kami tergores, seolah berhadapan dengan leasing, padahal kami tidak pernah lalai membayar pajak,” ujarnya.
Bino juga menegaskan bahwa pelaku usaha kuliner yang diwadahinya tidak pernah menerima bantuan, baik pascagempa 2018 maupun pandemi COVID-19.
“Kami membangun usaha di atas kaki sendiri,” tegasnya.
Ketua Komisi B DPRD Kota Palu, Rusman Ramli, mengakui sektor UMKM khususnya pajak hotel dan restoran menopang perekonomian kota Palu.
Tahun 2024, realisasi pajak restoran dan hotel mencapai Rp31 miliar, melampaui target Rp23 miliar.
Meski begitu, ia menilai perlunya relaksasi aturan mengingat ekonomi Palu belum sepenuhnya pulih sejak gempa 2018 dan pandemi COVID-19.
Anggota DPRD Kota Palu, Ratna Mayasari Agan, menilai Pemkot bersikap represif. Menurutnya, frasa “paling besar 10 persen” dalam perda seharusnya memberi ruang penyesuaian sesuai kondisi pelaku usaha.
Menanggapi itu, Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Palu, Eka Komalasari, menjelaskan penyegelan hanya dilakukan pada usaha yang menunggak pajak bertahun-tahun meski telah disurati.
“Usaha dengan omzet di atas Rp2 juta per bulan tidak wajib membayar pajak tapi retribusi. Ada yang kami segel karena tiga tahun tidak membayar. Pajak ini berlaku di seluruh Indonesia. Kami tidak ingin represif, tapi ini untuk memberi efek jera,” terangnya.
Eka mengaku kesulitan mengklasterkan pelaku usaha kecil dan besar sehingga diperlukan laporan yang jujur dari pelaku usaha. Pihaknya memberlakukan pajak 10 persen berlaku umum kecuali keuntungan dibawah Rp2 juta per bulan.
RDP juga dihadiri anggota DPRD Kota Palu Nurhalis Nur, Muslimun, dan Nendra, serta Kepala Dinas UMKM Kota Palu, Sucipto. (bar)