back to top
Selasa, 7 Oktober 2025
BerandaPALUZona Merah Bencana Malah Dibebani Proyek, JATAM Kritik Keras...

Zona Merah Bencana Malah Dibebani Proyek, JATAM Kritik Keras Inkonsistensi Tata Ruang Pesisir Palu

PALU – Direktur Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Sulawesi Tengah, Taufik, menilai pemerintah tidak konsisten dalam menetapkan dan menjalankan kebijakan tata ruang di pesisir Teluk Palu.

Ia menyebut, pascabencana 2018 wilayah pesisir telah dipetakan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) sebagai zona merah, namun tetap dibebani izin tambang dan proyek besar yang berpotensi memperparah risiko bencana.

“Ketika wilayah ini ditetapkan sebagai kawasan rawan bencana, seharusnya tidak lagi diganggu dengan aktivitas seperti tambang yang bisa mempercepat bencana,” kata Taufik dalam Diskusi mengurai masalah pesisir Palu-Donggala dari ancaman lingkungan akibat aktivitas pertambangan di Cafe Teko, Minggu (10/8/2025).

Taufik menyoroti revisi RTRW Kota Palu, pascabencana yang menurutnya tidak transparan.

“Tidak dibuka ke publik bagaimana penetapan ruang itu, sehingga ada proses perampasan ruang yang terjadi,” ujarnya.

Taufik menyebut izin tambang di pesisir Teluk Palu, khususnya di Watusampu hingga Tipo, meningkat tajam antara 2021 hingga 2024. Padahal, masyarakat di sejumlah wilayah sudah menyatakan penolakan.

“Tipo menolak tambang, Buluri menolak, Loli Oge juga menolak. Mereka bilang sudah cukup wilayah ini dibebani izin tambang,” tegasnya.

Ia juga mengkritik keberadaan PLTU Palu 3 yang berkapasitas 100 MW. Menurutnya, dampak lingkungan dari proyek ini akan jauh lebih besar dibanding PLTU Panau yang hanya 30 MW.

“Ancaman utamanya adalah wilayah tangkap nelayan di sepanjang pesisir,” kata Taufik.

Manajer Kampanye Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil WALHI Nasional, Burhanuddin, menekankan pentingnya penyelamatan dan pemulihan ekosistem pesisir yang kondisinya kian memburuk.

“Tiga ekosistem utama mangrove, padang lamun, dan terumbu karang mengalami kerusakan serius. Mangrove misalnya, 46 persen masuk kategori rusak berat,” ungkapnya.

Burhanuddin juga menyoroti inkonsistensi zonasi dalam RZWP3K Teluk Palu.

“Awalnya hanya ada dua zona, wisata dan penggaraman. Belakangan muncul zona industri, tapi zona mangrove justru tidak terlihat,” ujarnya.

Menurutnya, strategi advokasi perlu berbasis data akurat tentang kondisi ekosistem dan tata ruang.

“Kita harus tahu berapa luas mangrove tersisa, berapa banyak terumbu karang, dan apa ancaman utamanya. Dari situ kita bisa menentukan apakah suatu zona perlu direklamasi atau dipulihkan,” jelas Burhanuddin.

Ia mendorong kolaborasi lintas pihak untuk memastikan kebijakan pemanfaatan ruang pesisir tidak mengorbankan lingkungan dan mata pencaharian masyarakat.

“Zona pelabuhan, zona mangrove, zona permukiman, semua sudah jelas di rencana zonasi. Tinggal zona tambang yang masih abu-abu. Ini yang harus kita perjelas,” tutupnya. (NAS)

BERITA TERKAIT >

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

BERITA TERKINI >

Dari Wakatobi ke Babasal: Jalan Baru Penataan Tiga Banggai

0
oleh: Ridaya Laodengkowe (Geograf, Pemerhati Kebijakan Publik, pau Banggai) Kabar68 - Dalam tulisan kemarin, saya menyinggung kerancuan nama tiga kabupaten bersaudara: Banggai, Banggai Kepulauan, dan Banggai...

TERPOPULER >