PALU – Direktur Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Sulawesi Tengah, Taufik, memaparkan maraknya aktivitas pertambangan yang mengancam kawasan pesisir Teluk Palu dan Donggala. Pemaparan itu ia sampaikan dalam diskusi publik bertajuk “Mengurai Masalah Pesisir Palu-Donggala dari Ancaman Lingkungan” di Cafe Teko, Minggu (10/8/2025).
Taufik menuturkan, hasil pemetaan JATAM selama beberapa tahun terakhir menemukan sepanjang 19 kilometer pesisir Palu-Donggala telah dikuasai 97 izin konsesi tambang pasir dengan luas sekitar 1.700 hektare. Jumlah itu meningkat setelah 10 izin baru terbit pada 2024 dan 2025.
“Pesisir ini masuk kawasan rawan bencana, sering terjadi longsor dan banjir seperti di Buluri dan Watusampu. Namun, izin tambang justru terus bertambah tanpa arah yang jelas,” tegasnya.
Ia mengungkapkan, peta rencana tambang yang disiapkan pemerintah menunjukkan total 400 ribu hektare lahan pesisir Palu-Donggala berpotensi diberikan untuk pertambangan batuan. Kondisi ini, menurutnya, menimbulkan risiko sosial dan lingkungan yang serius.
Taufik juga menyoroti dampak langsung bagi warga. Beberapa nelayan kehilangan rompong, sementara di Loli Oge, masyarakat yang menolak tambang tetap harus menghadapi perampasan lahan akibat ketiadaan dokumen kepemilikan.
“Tanah diambil paksa, dibuatkan SKPT oleh oknum, lalu dimasukkan ke dalam konsesi tambang,” jelasnya.
Ancaman tidak hanya datang dari tambang pasir, tetapi juga pertambangan emas di Poboya dan sekitarnya yang berdekatan dengan aliran Sungai Pondo. JATAM menemukan indikasi pencemaran merkuri di sungai yang bermuara ke Teluk Palu, merujuk pada penelitian almarhum Mapiratu pada 2017.
Selain itu, kawasan Taipa, Labuan, dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Palu juga disebut berisiko menambah pencemaran. KEK, kata Taufik, berpotensi membuang limbah industri langsung ke perairan teluk. Tambang emas milik PT Vio Resources dan kontrak karya PT Citra Palu Mineral (CPM) pun masuk radar JATAM, masing-masing dengan konsesi seluas 5.000 hektare dan 15.000 hektare.
“Jika semua ini dibiarkan, Teluk Palu akan menjadi kawasan industri yang membahayakan kesehatan dan keselamatan warga pesisir. Bahkan kualitas udara di teluk sudah pernah dinyatakan tidak sehat oleh Badan Pemantau Cuaca pada 2024,” ujarnya.
Taufik menekankan perlunya arah kebijakan jelas dalam pengelolaan wilayah pesisir. Menurutnya, pemerintah harus menetapkan zona larangan tambang di kawasan rawan bencana dan pesisir, bukan terus membombardir wilayah tersebut dengan izin baru.
“Kalau arah pembangunan tambang tetap seperti ini, yang jadi korban adalah masyarakat di pesisir,” tutupnya.(NAS)