Jangan Tunggu Sakit: Saatnya Skrining Kesehatan Jiwa Setahun Sekali

34

Tulisan Refleksi dan Ajakan Peduli Kesehatan Jiwa, Oleh :
dr. Asti Mayang Pratiwi, M.K.M (Fasilitator Kesehatan Jiwa Sulawesi Tengah)

Di tengah denyut nadi pembangunan Kota Palu pascabencana, kita kerap terfokus pada perbaikan fisik bangunan yang kembali tegak, jalanan yang kembali ramai, dan aktivitas ekonomi yang mulai menggeliat. Namun, di balik semua geliat pemulihan itu, ada satu aspek mendasar yang sering luput dari perhatian: kesehatan jiwa. Banyak jiwa masih tertatih, diam dalam sunyi, terluka tanpa luka yang tampak. Padahal, pemulihan sejati bukan hanya tentang infrastruktur yang berdiri kembali, tetapi juga tentang manusia yang kembali utuh secara lahir dan batin.

Data Dinas Kesehatan Kota Palu mencatat peningkatan signifikan jumlah kunjungan pasien dengan gangguan kesehatan jiwa dalam beberapa tahun terakhir. Gangguan yang dilaporkan mencakup spektrum luas, mulai dari kecemasan, stres berat, depresi, hingga gangguan jiwa berat seperti skizofrenia. Mirisnya, banyak kasus yang datang ke fasilitas kesehatan sudah dalam kondisi parah. Bukan semata-mata karena penyakitnya, melainkan karena keterlambatan dalam mencari pertolongan medis akibat minimnya pemahaman, stigma sosial, serta rasa takut akan penolakan dari lingkungan sekitar.

Kesehatan jiwa kini menjadi salah satu tantangan paling kompleks dalam dunia kesehatan, termasuk di Kota Palu. Sayangnya, persoalan ini masih sering disalahartikan, dianggap tabu, dan distigmatisasi oleh masyarakat. Padahal, kesehatan jiwa adalah pondasi penting yang menentukan kualitas hidup, kemampuan berinteraksi sosial, dan produktivitas seseorang.

Saat ini, hampir seluruh Puskesmas di Kota Palu telah terakreditasi paripurna dan telah menyediakan layanan kesehatan jiwa, termasuk pelayanan konsultasi, rujukan, dan terapi psikososial. Namun, kenyataannya, pemanfaatan layanan ini masih rendah, terutama untuk kegiatan skrining (Deteksi Dini). Banyak masyarakat belum menyadari pentingnya melakukan pemeriksaan kesehatan jiwa secara rutin, minimal satu kali dalam setahun. Kondisi ini menjadi lebih mengkhawatirkan pada kelompok rentan di usia anak, remaja, dewasa dan lansia yang membutuhkan deteksi dan intervensi dini. Penting bagi kita semua untuk memutus rantai stigma, membuka ruang dialog, dan mengedukasi masyarakat tentang pentingnya kesehatan jiwa. Tanpa perhatian serius terhadap aspek ini, pembangunan yang dilakukan akan rapuh, karena dibangun di atas dasar yang tidak sepenuhnya pulih.

Kesehatan jiwa bukan soal “gila atau tidak”

Salah kaprah yang masih melekat kuat di masyarakat adalah anggapan bahwa memeriksakan kesehatan jiwa berarti mengakui diri sebagai “orang gila”. Padahal, skrining kesehatan jiwa sejatinya seperti cek gula darah atau tekanan darah, bukan mencari vonis, tetapi memahami risiko. Justru, skrining ini bertujuan untuk mengenali lebih dini apakah seseorang memiliki kerentanan atau risiko mengalami gangguan kesehatan jiwa seperti depresi, gangguan kecemasan, atau burnout. Jika diketahui lebih awal, maka penanganan bisa dilakukan secara tepat, tanpa harus menunggu kondisi memburuk.

Kita tentu masih ingat banyaknya kasus kehilangan nyawa akibat tekanan mental yang tidak tertangani. Kondisi ini menunjukkan bahwa masalah kesehatan jiwa tidak boleh dianggap remeh. Tidak adanya dukungan sosial, minimnya edukasi, serta rasa takut untuk mencari bantuan menjadi hambatan terbesar dalam penanganannya.

Kota Palu Siap Mendukung

Kabar baiknya, seluruh Puskesmas di Kota Palu saat ini telah dilatih dan memiliki fasilitas untuk melakukan skrining kesehatan jiwa. Masyarakat bisa datang secara langsung atau menggunakan kuesioner skrining awal yang tersedia di layanan kesehatan. Prosesnya mudah, tidak menghakimi, dan sangat membantu untuk mengenali tanda-tanda awal.

Skrining ini adalah pintu awal menuju pemulihan. Ketika kita tahu bahwa beban yang kita rasakan bukan sekadar lelah biasa, tapi sudah mulai menggerogoti semangat hidup, maka kita bisa mengambil langkah cepat, bercerita, berkonsultasi, dan jika perlu, mendapat pendampingan medis atau psikologis.

Jangan biarkan jiwa kita diam-diam sakit

Kesehatan jiwa adalah pondasi produktivitas. Sulit berkonsentrasi, mudah marah, merasa hampa, hingga menarik diri dari lingkungan, semua itu bisa jadi sinyal bahwa jiwa kita sedang lelah. Sayangnya, banyak dari kita menunda untuk mencari bantuan karena takut dicap atau dianggap lemah. Sudah saatnya kita ubah paradigma itu. Menjaga kesehatan jiwa adalah bentuk kekuatan, bukan kelemahan. Pemeriksaan rutin adalah bentuk cinta pada diri sendiri dan orang-orang yang kita cintai. Kita tidak menunggu sakit parah baru ke rumah sakit. Maka, jangan tunggu jiwa kita runtuh baru mencari pertolongan.

Menjaga kesehatan jiwa bukan bentuk kelemahan, melainkan bukti bahwa kita peduli terhadap diri sendiri. Dan seperti halnya penyakit fisik, gangguan jiwa juga bisa diobati jika ditangani dengan cepat dan tepat. Mari kita ubah cara pandang. Periksa kesehatan jiwa bukan karena kita “mau gila”, tapi justru karena kita ingin tetap waras. Karena jiwa yang sehat akan membawa hidup yang lebih berkualitas, produktif, dan bermakna.

 

Tinggalkan Komentar