Oleh : Moh. Ahlis Djirimu *)
BENCANA akan datang pada suatu daerah di saat penduduknya telah melupakannya. Ini nasehat dari kawan Nippon Karachimasta yang artinya saya berasal dari Jepang. Pada 13 April 2025, Provinsi Sulawesi Tengah genap berusia 61 tahun. Sebuah usia memasuki kematangan kebijakan, daerah yang 75 persen area hunian, perkantoran, tempat bercocok tanam merupakan cicin api bencana.
Sebagai “supermarket” bencana di dunia, Indonesia menempati posisi kedua negara dalam World Disaster Index setelah Filipina dalam World Risk Index Report 2023. Peta Risiko Bencana Indonesia yang dipublikasikan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada Tahun 2022, 13 provinsi berada pada kelas risiko bencana tinggi termasuk Sulteng dan 21 provinsi berada pada kelas risiko bencana sedang, serta tidak ada satupun provinsi yang berada pada risiko bencana rendah. Dari 514 kabupaten/kota di Indonesia, terdapat 192 kabupaten/kota yang berada pada kelas indeks risiko tinggi dan 322 yang berada pada kelas.
Di Sulteng, Kabupaten Parigi Moutong, Poso dan Tojo Unauna berada pada kategori daerah ‘risiko bencana sedang”, sebaliknya, sepuluh daerah lainnya, berada pada kategori “risiko bencana tinggi”. Indonesia menghadapi risiko kerugian langsung akibat bencana antara lebih dari Rp20,- triliun – Rp50,- triliun tiap tahun.
Perubahan iklim menjadi satu dari beberapa penyebab tren kenaikan kejadian dan peningkatan intensitas bencana (banjir, kekeringan, badai, gelombang panas) dan munculnya bencana/penyakit jenis baru, dari 5.400 kejadian bencana di Indonesia. https://platform.indonesia.mapbiomas.org/ melaporkan bahwa Selama 2000-2019, Sulteng kehilangan hutan seluas 296.819 hektar atau 14.841 hektar per tahun yang setara dengan 18.000 lapangan sepakbola.
Selama 10 tahun terakhir, satu dari beberapa konsekuensi lenyapnya hutan Sulteng adalah adanya peningkatan suhu di Sulteng. Suhu di permukaan Sulawesi Tengah tercatat naik sebesar 1,2 derajat Celcius, suatu peningkatan di atas batas toleransi conference on the parties (COP). Suhu di permukaan Sulteng secara perlahan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Data berSumber Open-Meteo.com (Zippenfenig, P., 2023) dan Open-Meteo.com Weather API [Computer software]. Zenodo.] menunjukkan bahwa sebagian besar daerah di Sulteng mengalami perubahan temperatur rata-rata di kisaran 0,5°C dari periode Apr-2023. Kabupaten dengan rata-rata temperatur terpanas tercatat di Kabupaten Donggala, dengan suhu mencapai 28,1 °C per Apr 2024. Pada periode April 2023-April 2024, suhu di Kabupaten Banggai meningkat dari 27,5°C menjadi 28°C, Banggai Kepulauan meningkat dari 27,3°C menjadi 27,4°C, Kota Palu meningkat dari 26,8°C menjadi 27,4°C, serta Kabupaten Morowali meningkat dari 26,6°C menjadi 26,7°C. Konsekuensi lain adalah Sejak Tahun 2020, terjadi fenomena penurunan peristiwa hujan di wilayah Sulawesi Tengah, dari rasio 46,39 persen (4074,7 jam) pada 2020 menjadi 34,8 persen (3046,5 jam) pada Tahun 2023.
Antara tahun 1990-2021, Indonesia mengalami lebih dari 300 bencana alam – termasuk 200 kejadian banjir yang berdampak pada lebih dari 11 juta orang. Frekuensi bencana ini meningkat, dengan bencana terkait iklim mencapai sekitar 70 persen dari total. Dampak utama termasuk kelangkaan air – yang sebagian dapat dikurangi melalui peningkatan produktivitas air dan menutup kesenjangan infrastruktur. Pertanian rentan terhadap dampak perubahan iklim, yang berimplikasi pada ketahanan pangan dan gizi. Di tingkat nasional, kenaikan suhu dan pergeseran curah hujan diproyeksikan akan mengurangi hasil dari beberapa sistem produksi yang penting bagi pengentasan kemiskinan dan ketahanan pangan–termasuk beras (-0,72 persen pada Tahun 2030), jagung (-7,1 persen) dan kelapa sawit (-1,21 persen).
Meskipun transisi rendah karbon dan tangguh iklim dapat membawa manfaat, tetapi biaya transisi juga cukup besar. Berbagai studi menunjukkan bahwa perubahan iklim berdampak pada sektor pertanian. Emisi karbon dioksida (CO2) memiliki efek signifikan dalam sektor agrikultur dengan peningkatan temperatur yang memiliki efek kontra produktif dalam jangka panjang di China (Chandio et. al., 2019). Perubahan iklim akan menurunkan produktivitas pertanian sehingga memberikan tantangan dalam memastikan ketersediaan pangan (Malhi et. al., 2021). Di beberapa wilayah di dunia, kekeringan dan tekanan panas, serta konsentrasi CO2 memiliki dampak langsung bagi pertumbuhan tanaman dan tidak jarang bertanggung jawab atas kegagalan panen (Liaqat et. al., 2022).
Perubahan iklim berdampak pula pada Kesehatan. Setiap kenaikan sepersepuluh derajat (0,1°C) akan berdampak serius pada kehidupan dan kesehatan manusia. (COP26, WHO, 2021). Peristiwa iklim yang ekstrim dapat mempengaruhi morbiditas dan mortalitas dan berdampak buruk pada kesehatan mental dan kesejahteraan secara signifikan. (Ebi et al., 2021).
Perubahan iklim berpengaruh pula pada pengelolaan sumber daya air yang lebih bermasalah, satu di antaranya karena peningkatan penguapan dan evapotranspirasi yang menyebabkan air permukaan dapat menipis (?en, 2020). Peningkatan suhu global mengubah siklus hidrologi bumi sehingga banjir dan kekeringan kerap terjadi (S. & Joseph, 2023).
Di Sulteng, Pemerintah Pusat melalui APBN mencoba membantu daerah ini mengantisipasi perubahan iklim melalui gelontoran dana pada Sektor Agrikultur dengan harapan, kebijakan ini menjadi stimulus yang selanjutnya dapat dialokasikan melalui APBD Provinsi Sulteng dan APBD 13 kabupaten/kota. Belanja Pemerintah Pusat (BPP) terkait Belanja Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim, di Tahun 2019, BPP ini menyasar Sektor Pertanian pada masing-masing 3 kabupaten sebesar Rp14,6,- miliar, Kota Palu sebesar Rp52,- miliar dan Provinsi Sulteng sebesar Rp188,5,- miliar. Di Tahun 2020, BPP memberikan dukungan pada 6 kabupaten sebesar Rp27,3,- miliar, Kota Palu sebesar Rp44,7,- miliar dan Provinsi Sulteng mendapatkan dukungan BPP sebesar Rp125,6,- miliar.
Di Tahun 2021, BPP mendukung Sektor Agrikultur pada 3 kabupaten sebesar Rp7,8,- miliar, Kota Palu mendapatkan dukungan BPP sebesar Rp72,4,- miliar, dan Provinsi Sulteng memperoleh dukungan BPP sebesar Rp151,8,- miliar. Di Tahun 2022, BPP menyasar pada 2 kabupaten dengan dukungan dana pada Sektor Agrikultur sebesar Rp7,7,- miliar, Kota Palu sebesar Rp46,7,- miliar dan Provinsi Sulteng mendapatkan BPP sebagai dukungan pada Sektor Agrikultur bagi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sebesar Rp99,4,- miliar. Di Tahun 2023, BPP tersebut menyasar pada 2 kabupaten sebesar Rp6,9,- miliar, Kota Palu sebesar Rp49,1,- miliar dan Provinsi Sulteng sebesar Rp71,7,- miliar yang terpusat pada Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura. Realisasi dukungan belanja Mitigasi dan Adaptasi perubahan iklim pada 2019 mencapai Rp231,5,- miliar
Sayangnya, dukungan BPP pada Sektor Agrikultur bagi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim ini kurang terimplementasi sesuai indikator kinerja yang ditetapkan dan kurang sesuai dengan kondisi di lapangan. Di Tahun 2019, dari keseluruhan sebesar Rp255,1,- miliar, realisasinya hanya mencapai Rp231,5,- miliar. Dari realisasi Rp231,5,- miliar, Rp31,8,- atau 16,5 persen dipergunakan bagi Perjalanan Dinas. Di Tahun 2020, keseluruhan kucuran dana BPP mencapai Rp197,6,- miliar. Namun, realisasinya hanya mencapai Rp167,6,- miliar yang Rp23,5,- miliar di antaranya atau 14 persen dipergunakan untuk perjalanan dinas. Di Tahun 2021, Pemerintah Pusat mengalokasikan dukungan BPP pada Sektor Pertanian sebesar Rp232,- miliar, namun realisasinya hanya mencapai Rp204,8,- miliar.
Dari jumlah tersebut, Rp32,4,- miliar atau proporsinya sebesar 15,8 persen merupakan perjalanan dinas. Di Tahun 2022, dukungan BPP pada Sektor Pertanian mencapai Rp153,8,- miliar yang realisasinya mencapai Rp127,1,- miliar, namun dari jumlah realisasi tersebut, sebesar Rp22,- miliar dipergunakan bagi perjalanan dinas atau proporsinya mencapai 17,3 persen. Di Tahun 2023, overall dukungan BPP bagi Sektor Pertanian di Provinsi Sulteng mencapai Rp127,7,- miliar. Realisasinya mencapai Rp102,3,- miliar yang Rp24,2,- miliar dipergunakan sebagai perjalanan dinas atau proporsinya 23,6 persen.Realitas ini menunjukkan bahwa dukungan BPP bagi Sektor Agrikultur di Sulteng kurang mendapat perencanaan yang layak pada Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan yang terbukti realisasi di bawah target. Selain itu, penggunaan BPP tersebut, dominan bagi kegiatan perjalanan dinas keluar daerah tidak mendukung antisipasi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim karena tren peningkatan perjalanan dinas tersebut meningkat dari 16,5 persen di Tahun 2019 menjadi 23,6 persen di Tahun 2023. Sulteng hanya membantu daerah lain mendorong perputaraan ekonominya, sebaliknya proporsinya kontribusi ekonomi Sulteng dalam perekonomian nasional stagnan pada 1,71 persen atau 23 persen dalam perekonomian Sulawesi. Selain itu, hal ini justru melunturkan kepercayaan Pemerintah Pusat pada Pemerintah Kabupaten/Kota dan Provinsi Sulteng. Hal ini terbukti bahwa realisasi BPP terkait dukungan untuk sektor agrikultur sebagian besar terserap kepada belanja non modal.
Temuan riset lapangan merekomendasikan penggeseran pagu belanja APBN terkait menjadi Transfer ke Daerah (TKD) sehingga pemda dapat memanfaatkannya sesuai dengan kondisi di lapangan. Selain itu, penguatan belanja untuk rehabilitasi kerusakan akibat industri ekstraksi dan penguatan kualitas belanja modal penunjang sektor pertanian termasuk dalam kepastian capaian outcome atas belanja yang terealisasikan. Hal inilah yang tidak disadari oleh perangkat daerah yang tidak menunaikan amanah tersebut.
Makna sinergi mencapai indikator Visi ke 6 yakni Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) menjadi taruhan keberhasilan dan kegagalan Bupati/Walikota/Gubernur. Misi 6 Pemerintah Provinsi Sulteng Periode 2021-2024 ini diwujudkan dalam bentuk harmoni manusia dan alam pasca bencana alam dan non alam hanya sampai pada tataran di atas kertas saja. Adanya keseimbangan triple bottom line: Ekonomi-Sosial-Lingkungan dipahami sebagai kesempatan memanfaatkan dana bagi kepentingan instan Perangkat Daerah. Dokumen
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Provinsi Sulteng Periode 2021-2026 menunjukkan bahwa, daya dukung air Provinsi Sulteng telah terlampaui sebanyak 854 ribu ha atau proporsinya mencapai 13,95 persen, sedangkan daya dukung air belum terlampaui mencapai 5,27 juta ha atau proporsinya 85,8 persen. Angka ini bermakna, bahwa ada 13,95 persen daerah di Sulteng tidak mampu lagi menyediakan air secara mandiri. Daerah tersebut adalah Kabupaten Parigi Moutong (2,51 persen atau 153 ribu ha), Kabupaten Tolitoli (1,85 persen atau 113 ribu ha), Kabupaten Banggai (102 ribu ha atau 1,68 persen), serta Kabupaten Donggala (99 ribu ha atau 1,62 persen).
Selanjutnya, kemampuan Sulteng dalam menyediakan pangan secara mandiri bagi penduduknya telah terlampaui 2,59 juta ha dari 3,55 juta ha atau proporsinya terlampaui 42,32 persen. Pada daerah tertentu, jika tidak diansitisipasi dapat berujung pada krisis pangan. Daerah tersebut adalah Kabupaten Banggai telah terlampaui 332 ribu ha, Parigi Moutong sebesar 301 ribu ha, Poso dan Morowali Utara masing-masing sebesar 292 ribu ha, serta Kabupaten Donggala sebesar 232 ribu ha. Saat ini, persentase masyarakat Sulteng yang tidak dapat menjangkau pangan bergizi seimbang mencapai 57 persen menurut Angka Kecukupan Gizi (AKG) dan 68 persen menurut Healty Diet Basket (HDB) Food Agriculture Organization (FAO). Angka ini menjadikan Sulteng berada pada peringkat kesebelas di Indonesia yang mempunyai persentase masyarakat yang tidak dapat menjangkau Pangan bergizi Seimbang. Angka ini berada di bawah Provinsi Sulbar tertinggi nomor 3, Gorontalo tertinggi nomor 5, dan Sultra nomor 9. Hal ini menjadi masalah di sisi hulu yang akan berpengaruh di hilir pada masalah kemiskinan, Berat Badan Lahir Kurang atau Rendah (BBLR), gizi buruk, stunting/tengkes.
Hasil Kajian Tingkat Kerentanan Tim KLHS yang merujuk pada Sistem Informasi Indeks dan Data Iklim (SIDIK) menunjukkan bahwa adanya perubahan iklim yang berdampak pada kerentanan sosial ekonomi kategori kerentanan tinggi (36 persen) terjadi pada Kabupaten Banggai, Kabupaten Parigi Moutong (30 persen), Buol (13 persen) dan Donggala (10 persen).
Secara keseluruhan, hal ini tentu berpengaruh pada kesiapan Sulteng dalam mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB). Untuk mengukur ketercapaian TPB, Pemerintah mengunakan sistem penilaian scorecard dengan berikut: Kategori A. Mencapai atau hampir mencapai target SDGs. Asumsi business-as-usual, hasil proyeksi menunjukkan bahwa pada Tahun 2030 indikator mencapai atau hampir mencapai (97.5 persen) target SDGs; Kategori B. Mendekati target SDGs. Asumsi business-as-usual, hasil proyeksi menunjukkan bahwa pada Tahun 2030 indikator mendekati target SDGs dan mencapai setidaknya 90 persen jalan menuju target SDGs; Kategori C. Lebih dari seperempat jalan menuju target SDGs
Asumsi business-as-usual, hasil proyeksi menunjukkan bahwa pada Tahun 2030 indikator mengarah kepada target SDGs dan mencapai lebih dari 50-90 persen jalan menuju target SDGs; Kategori D. Kurang dari seperempat jalan menuju target SDGs. Asumsi business-as-usual, hasil proyeksi menunjukkan bahwa pada Tahun 2030 indikator tersebut masih antara 25 persen-50 persen dari mencapai target SDGs; Kategori E. Masih cukup jauh mencapai target SDGs. Asumsi business-as-usual, hasil proyeksi menunjukkan bahwa pada Tahun 2030, masih setengah jalan (<25 persen) atau lebih target SDGs dapat tercapai.
Hasilnya adalah hanya ada 13 provinsi dengan skor lebih dari 2 poin dengan nilai C relatif paling siap menuju pencapaian TPB. Sedangkan Sulteng, NTB, Sulbar mencapai skore 1,63 poin atau berada pada kategori provinsi Relatif Tidak Siap mencapai TPB berada pada posisi ke 31. Di Sulteng, di Tahun 2021, dari 235 indikator TPB, 134 indikator sudah dilaksanakan dan sudah tercapai (57 persen), 57 indikator sudah dilaksanakan, tetapi belum tercapai (25 persen), 6 indikator belum dilaksanakan atau 2 persen, dan 38 indikator TPB belum tersedia datanya atau 16 persen. Hal ini erat pula kaitannya dengan hasil bedah Bab VIII RPJMD Provinsi Sulteng Periode 2021-2026 yang Indikator Kinerja Daerah (IKD) hanya tercapai dan terlampaui 62 indikator dari 256 indikator atau proporsi ketercapaian IKD hanya sebesar 23,28 persen saat Pemerintah Sulteng Periode 2021-2024. Tentunya sebuah kado pahit bagi Pemerintah Sulteng di bidang Antisipasi Perubahan Iklim untuk mencapai indikator COP 27 Dubai-Uni Emirat Arab dan COP 28 Baku-Azerbaijan. Lumbung dana asuransi bencana dapat menjadi solusi di Tengah relokasi APBD sebesar Rp1,52,- triliun di daerah ini agar amanah menjalankan tugas.
*) Penulis adalah Guru Besar FEB-Untad dan Local Expert Sulteng-Regional Expert Sulawesi Kemenkeu RI.