BANGGAI – Penambangan nikel di Desa Siuna Kec. Pagimana menuai sorotan. Wilayah yang dikenal sebagai kawasan perkebunan dan pertanian serta konservasi laut yang sangat indah dan begitu penting bagi kelangsungan hidup masyarakat, kini terancam eksploitasi diserbu sejumlah perusahaan tambang nikel.
3 (tiga) perusahaan tambang nikel di wilayah Desa Siuna, masing-masing, PT. Penta Darma Karsa, PT. Prima, dan PT. Integra Mining Nusantara, dituding telah menyebabkan pencemaran lingkungan akibat limbah dari aktivitas kegiatan perusahaan, yang saat ini telah mencemari sumber air, lahan perkebunan dan pertanian milik warga serta pencemaran laut.
“Permasalahan ini sudah dilaporkan oleh Camat Bualemo dan BPD serta aparat desa Mayayap di bagian Biro Hukum Kantor Gubernur Sulteng, sejak Juni 2025. Intinya bahwa Gubernur Sulteng, Anwar Hafid, segera melakukan evaluasi terhadap aktivitas ketiga perusahaan tersebut,” ujar sejumlah aparat Desa Mayayap, salah satu Desa diwilayah Kec. Bualemo yang terkena dampak dari aktivitas tambang PT. Integra Mining Nusantara, kepada Radar Sulteng, di Luwuk, Sabtu (19/7).
Begitupun halnya, PT. Penta Dharma Karsa dan PT. Prima. “Sebelumnya masyarakat telah mengadukan hal ini ke DPRD Banggai. Akibat kurangnya respon atas aduan masyarakat sehingga hal ini diteruskan ke Propinsi.
“Kami sudah laporkan juga dikantor Gubernur atas permasalahan ini, yakni adanya kerusakan hutan, pencemaran air dan terjadinya luapan limbah tambang yang telah merusak lahan perkebunan dan pertanian milik warga di Desa Siuna,” ujar Supardi, mantan Kades Siuna.
Aktivitas pertambangan nikel ketiga perusahaan dimaksud, mengeruk isi perut bumi yang merambah diwilayah Desa Siuna dan sekitarnya, hutan dibabat, alat berat berjejer merobohkan pepohonan menyisahkan tanah merah mengandung nikel yang jadi target.
Berbagai protes masyakat datang silih berganti. Pemda Banggai tak beradaya dan tak memiliki kekuatan untuk melihat kondisi wilayah dan kepentingan masyarakat Desa Siuna dan sekitarnya akibat imbas dari sebuah pertambangan nikel, yang katanya tak punya kekuatan untuk menahan investasi yang datang dari pemerintah pusat. Sehingga, Pemda Banggai kesulitan memberikan intervensi terhadap tambang yang terindikasi telah merusak dan mencemari hutan dan ekosistem yang ada diwilayah tersebut.
Desakan ini datang silih berganti, warga meminta pemerintah memberi instruksi lebih tegas dan jelas untuk mengevaluasi pertambangan nikel di Siuna dan menuangkan dalam bentuk peraturan atau sejenisnya.
“Itu baru bisa kita uji, karena indikator kepeberpihakan pemerintah dalam hal ini begitu tidak bisa hanya dengan kata-kata ini dan itu, dan lain sebagainya. Sering kita dengar bahwa masalah tambang nikel di Siuna dan sekitarnya, ibarat fenomena gunung es, akumulasi dari sebuah investasi yang telah mengabaikan lingkungan dan hak-hak masyarakat adat, serta mengabaikan proses transparansi awal yang seharusnya melibatkan masyarakat secara substansial,” jelas sejumlah warga di desa itu.
Disisi lain, katanya, masyarakat adat diwilayah Desa Siuna, khusunya diwilayah lingkar tambang, dari generasi ke generasi hidup berdampingan dengan alam, tak pernah merasa kekuarangan. Mereka punya hutan dan itu mereka sebenarnya tidak lapar. Tapi orang luar yang lapar melihat itu.
Pemda Banggai dinilai hanya berpikir sempit dan tidak mempertimbangkan dampak panjang tambang nikel di Desa Siuna. Semua hanya sebuah retorika dan konsep yang tak bisa dipertanggungjawabkan. Setelah 20-30 tahun, nikel di Siuna habis dikeruk. Setelah itu, hanya tersisa kerusakan yang tak pernah bisa pulih. “Sudah dinobatkan sebagai geopark dunia, lalu ada (tambang nikel). Kacau daerah ini,” keluah sejumlah warga diwilayah lingkar tambang.
Mereka mensejajarkan antara, kerusakan lingkungan dan perusakan ruang hidup masyarakat adat dengan pelanggaran HAM paling berat. Karena perusakan ruang hidup itu memutuskan pengetahuan akan kearifan lokal mereka dalam mengelola lingkungan secara berkelanjutan.
Kerusakan lingkungan yang terjadi akibat dari aktivitas pertambangan nikel tidak bisa pulih sepenuhnya. Kita gunakan analogi saja untuk menjelaskan pernyataan bahwa menebang pohon dan menanam pohon baru tidak sama nilainya. Jadi, tidak mungkin mengembalikan bentang alam yang ada di Desa Siuna dan sekitarnya secara primer. Hal itu mustahil dan tidak mungkin.
Sementara itu, pihak perusahan PT. Penta Darma Karsa, PT. Prima, dan PT. Integra Mining Nusantara saat dikomfirmasi, pimpinannya tidak berada ditempat. Menurut karyawan pimpina mereka sedang berada di luar kota.(MT)